PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Suasana haru dan khidmat menyelimuti kediaman Eka Oktavia Arifien Basir di Jalan Baji Rupa, Makassar, Sabtu (18/10/2025) malam. Keluarga besar EMBAS kembali berkumpul dalam satu momen penuh makna untuk memperingati Haul ke-40 almarhum M. Basir, sosok seniman dan wartawan legendaris Sulawesi Selatan yang dikenang karena karya, keteladanan, dan kebijaksanaannya.
Almarhum Muhammad Basir, atau akrab disapa Embas, dikenal luas sebagai pribadi yang sederhana, religius, namun sangat berwawasan. Di balik ketenangannya, tersimpan kreativitas besar yang telah mewarnai perjalanan sejarah Kota Makassar dan bahkan Indonesia Timur.
“Beliau bukan hanya ayah bagi kami, tapi juga guru kehidupan bagi banyak orang. Karyanya bukan sekadar visual, tapi pesan moral,” ujar Ardhy M Basir mewakili keluarga.
Basir adalah sosok di balik layar sejumlah karya monumental. Logo Kota Makassar yang memadukan perisai dan perahu Phinisi adalah hasil rancangan tangannya. Tak hanya itu, Logo Universitas Hasanuddin (UNHAS) dan Logo Kabupaten Jeneponto juga merupakan buah pikirannya, karya yang kemudian diserahteruskan kepada keponakannya.
Kecintaannya pada budaya lokal Makassar terlihat dari kegemarannya menulis, menggambar, dan melestarikan aksara Lontara. “Ayah selalu bilang, budaya adalah identitas, dan siapa yang menjaganya, dialah penjaga peradaban,” kenang Ardhy M. Basir, putra almarhum.
Jejak pemikiran Basir bahkan melekat dalam sejarah kota. Nama Rumah Sakit Labuang Baji konon berasal dari ide Basir, yang diberikan kepada pendiri rumah sakit berkebangsaan Belanda. Dalam kisahnya, Basir pernah diminta menulis kitab Injil dengan huruf Lontara satu-satunya di dunia.
Kegemarannya menulis dan menggambar dalam huruf Lontara melahirkan lusinan buku, termasuk Pedoman Desa satu-satunya koran beraksara Lontara yang khusus disebarkan di pelosok Sulsel. Ia juga terlibat dalam desain berbagai monumen, termasuk patung di pertigaan Jalan Dr. Ratulangi dan Jalan Kakatua.
Ketika Pedoman Rakyat berdiri pada 1947, situasi politik di Makassar memanas. Namun Basir memilih menulis di tengah badai perjuangan. Tahun 1951, ia resmi bergabung dan menjadi salah satu tokoh penting di harian perjuangan itu. “Ayah selalu percaya, tulisan bisa lebih tajam dari peluru,” ujar Ardhy mengisahkan.
Dengan semangat idealisme yang tinggi, Basir mengabdikan dirinya di dunia pers. Ia bahkan mengundurkan diri dari pekerjaannya di Kantor Imigrasi Makassar pada 1957 demi fokus membesarkan Pedoman Rakyat sebagai Pemimpin Redaksi dan pemegang saham. Dari tangannya lahir wartawan-wartawan tangguh seperti Ronald Ngantung, Rahman Arge, dan Arshal Al Habsy.
“Bagi banyak wartawan, beliau bukan hanya pemimpin redaksi, tapi ‘Sang Guru’. Ia mendidik dengan keteladanan, bukan perintah,” tutur Ardhy mengenang ayahnya yang juga pernah menjabat Ketua PWI Sulsel dua periode (1966–1968).
Kepiawaiannya tak berhenti di dunia jurnalistik. Basir juga berkontribusi dalam desain kota bersama Wali Kota Makassar Patompo. Dari tangan dinginnya lahir sejumlah patung, taman kota, hingga ikon legendaris seperti Tanggul Patompo.
Karya militernya pun tak kalah monumental. Lambang Kodam XIV/Hasanuddin dan Kodam XII/Wirabuana adalah hasil rancangannya. Atas dedikasi itu, ia menerima piagam penghargaan dari Pangdam Mayjen TNI Soetedjo pada 2 Mei 1985.
Basir menghembuskan napas terakhir pada Senin, 14 Oktober 1985, di RS Akademis. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi dunia seni, budaya, dan pers Indonesia Timur.
Kini, 40 tahun berselang, keluarga EMBAS kembali memaknai warisan itu. “Haul ini bukan sekadar mengenang, tapi menghidupkan nilai-nilai beliau, keikhlasan, integritas, dan cinta akan kebenaran,” ujar Pemimpin Umum Pedomanrakyat.co.id., Ardhy dengan mata berkaca-kaca.
Acara haul ditutup dengan doa bersama dan jamuan makan malam. Dalam suasana penuh kehangatan, generasi muda EMBAS diajak meneladani sang maestro bahwa perjuangan sejati tak selalu dengan senjata, tapi dengan pena, karya, dan ketulusan hati. (*Rz)