PEDOMANRAKYAT, BULUKUMBA – Sore yang hangat di Rumah Buku SaESA kembali membuka percakapan dengan napas yang sama: pendidikan yang memerdekakan. Dalam edisi ke-8 SuarAsaESA, diskusi bertajuk Sekolah Bisa Semerdeka Ini menghadirkan Ibu Sri Wahyaningsih, pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta, sosok yang sejak lama menanam gagasan bahwa sekolah bukanlah ruang untuk memerintah, melainkan untuk menemani tumbuh.
Diskusi dimulai pukul 17.05 WITA dan berakhir 18.03 WITA. Seperti biasa, suasananya cair—lebih seperti perbincangan keluarga ketimbang forum formal. Dari ujung layar, Ibu Wahya menyapa dengan tenang, lalu membuka percakapan dengan kalimat yang mencerminkan napas SALAM:
“Sekolah itu ruang untuk belajar, bertumbuh, dan bekerja sama. Setiap anak lahir dengan fitrahnya masing-masing. Maka tugas kita bukan mencabutnya dari akar, tapi menemani mereka tumbuh sesuai tanah di mana mereka berdiri.”
Dalam penjelasannya, Ibu Wahya kembali menegaskan trisentra pendidikan yang menjadi pondasi SALAM: keluarga, masyarakat, dan sekolah. Ketiganya saling menaut, menjadi ruang hidup tempat anak belajar mengenal diri dan lingkungannya.
Ia pun menjelaskan empat pilar belajar di SALAM—yang menjadi semacam matriks kurikulum: pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Empat hal ini, katanya, lahir dari keseharian anak dan kehidupan sekitar, bukan dari rancangan meja birokrat.
“Kami di SALAM tidak menyusun kurikulum dari atas ke bawah. Kami menyusun dari kehidupan. Dari apa yang anak-anak alami dan butuhkan. Karena belajar bukan soal hafalan, tapi bagaimana anak memahami dunia dan dirinya.”
Bagi SALAM, sekolah yang merdeka bukan berarti tanpa arah, tetapi penuh kesadaran. Ia memberi ruang agar setiap anak menemukan jalan belajarnya sendiri. “Ketika anak senang dengan apa yang ia pelajari, ia akan mencintai dan konsisten,” ujar Ibu Wahya.