Oleh: Yulius
Saya sering heran. Di zaman di mana semua orang sibuk menatap layar, mengapa perpustakaan masih terlihat sepi ? Padahal, di sanalah “sumber daya paling tak terbatas” disimpan pengetahuan.
Mungkin karena kata perpustakaan terasa jadul. Membayangkan ruangan berdebu, rak-rak kayu tua, dan penjaga yang menyuruh pelan-pelan karena “ini tempat membaca, bukan ngobrol.” Tapi, di tengah riuhnya era digital, justru perpustakaanlah yang paling dibutuhkan tentu dengan wajah baru.
Perpustakaan hari ini seharusnya bukan lagi gudang buku. Ia adalah pusat ide, tempat kreativitas bertemu teknologi. Anak muda datang bukan hanya untuk membaca, tapi untuk mencipta. Untuk berdiskusi, berkolaborasi, atau sekadar menemukan kembali ketenangan dari banjir notifikasi yang tiada henti.
Di banyak negara, perpustakaan sudah berubah wujud. Ada kafe kecil di pojoknya, ada ruang podcast, ruang digital, bahkan studio mini. Mereka paham bahwa generasi sekarang belajar bukan hanya dari buku, tapi juga dari pengalaman, dari percakapan, dari video, dari content yang hidup. Tapi tetap intinya sama , mencari ilmu.
Kita sering bicara tentang smart society, masyarakat cerdas, tapi lupa bahwa kecerdasan itu tak tumbuh dari internet saja. Google memberi jawaban, tapi tidak memberi kebijaksanaan. Media sosial memberi panggung, tapi tidak selalu memberi pemahaman. Di sinilah perpustakaan memegang peran: menyeimbangkan antara cepatnya akses dan dalamnya makna.
Di Luwu Timur, saya pernah melihat perpustakaan kecil di pojok sebuah kantor desa. Raknya sederhana, tapi ada anak-anak sekolah yang datang setiap sore. Mereka meminjam buku cerita, kadang membuka laptop bantuan desa untuk mencari bahan tugas. Tidak ramai, tapi hidup. Saya pikir, di sanalah masa depan itu diam-diam bertunas.
Bayangkan jika setiap desa punya perpustakaan digital yang bukan hanya menyimpan buku, tapi juga data lokal, arsip sejarah, hasil riset warga, bahkan karya sastra anak muda setempat. Bukankah itu bisa menjadi “Google-nya” masyarakat desa ?
Perpustakaan bukan soal buku tebal atau rak panjang. Ia tentang akses terhadap ilmu pengetahuan yang adil. Tentang kesempatan untuk siapa saja belajar, tanpa harus kaya, tanpa harus punya kuota.
Masyarakat cerdas bukan yang paling cepat membaca berita, tapi yang paling dalam memahami maknanya. Dan kecerdasan seperti itu tak lahir dari scrolling, tapi dari membaca dengan hati yang tenang, pikiran yang terbuka, dan rasa ingin tahu yang tak pernah padam.
Maka, jangan anggap perpustakaan hanya bangunan. Ia adalah simbol. Simbol bahwa pengetahuan masih punya rumah di tengah hiruk pikuk digital. Bahwa kecerdasan sejati tak pernah usang, meski dunia berubah setiap hari. (#)