PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Direktur Umum Perusahaan Daerah (PD) Parkir Makassar Raya, H. Saharuddin Said, SE., mengambil langkah tegas dengan mendatangi kantor perusahaan pembiayaan Kredit Plus. Kehadirannya bertujuan meminta klarifikasi atas dugaan penyalahgunaan identitas pribadi yang mengakibatkan munculnya tagihan kredit fiktif atas namanya.
Namun, kedatangan Saharuddin bersama sejumlah jurnalis tidak mendapat sambutan terbuka. Perwakilan Kredit Plus menolak memberikan penjelasan, bahkan seorang staf perusahaan disebut enggan memberikan informasi saat dimintai klarifikasi terkait data konsumen yang diduga disalahgunakan.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, setiap konsumen berhak atas rasa aman, kenyamanan, serta keterbukaan informasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi dari lembaga yang memberikan layanan kepada masyarakat. Saharuddin menilai sikap tertutup pihak Kredit Plus telah melanggar prinsip tersebut.
Kasus ini mencuat sejak tahun 2022, ketika Saharuddin berkali-kali menerima panggilan dari pihak penagihan Kredit Plus yang menuduhnya memiliki tunggakan pembelian telepon genggam merek Samsung. Setelah menelusuri lebih jauh, ia menemukan adanya catatan kredit atas namanya sejak tahun 2017, yang jelas tidak pernah ia ajukan.
“Awalnya saya kira itu sekadar modus penipuan. Namun setelah saya minta data resmi, saya kaget ternyata benar ada catatan kredit atas nama saya. Nama ibu kandung yang tercantum bukan nama sebenarnya, dan tanda tangannya pun bukan tanda tangan saya,” tegas Saharuddin.
Upaya Saharuddin meminta kejelasan justru berujung buntu. Ia telah secara resmi meminta salinan dokumen pengajuan kredit, termasuk foto saat pengajuan, riwayat pembayaran, dan berkas kredit awal. Namun, permintaan itu ditolak dengan alasan data bersifat internal perusahaan.
“Saya sudah meminta secara baik-baik, tapi mereka menolak. Padahal saya adalah pihak yang dirugikan dan memiliki hak penuh untuk mengetahui data tersebut,” ujarnya dengan nada tegas.
Dari hasil penelusuran lebih lanjut, diketahui cicilan atas nama Saharuddin sempat dibayar selama beberapa bulan sebelum akhirnya macet. Ia menduga kuat ada pihak tertentu yang menggunakan identitasnya tanpa izin untuk memperoleh fasilitas kredit.
“Saya tidak tahu siapa yang menggunakan data saya, bisa jadi seseorang yang memiliki akses terhadap data pribadi saya. Tapi yang pasti, itu bukan saya,” tegasnya, Senin (20/10/2025).
Saharuddin juga mengecam tindakan pihak penagihan yang menyebarkan informasi dugaan utang tersebut ke media sosial. Menurutnya, langkah itu bukan hanya tidak etis, tetapi juga termasuk pencemaran nama baik.
“Saya ini korban. Kalau pun seseorang benar punya utang, bukan berarti informasinya bisa disebarkan di media sosial. Apalagi saya tidak pernah mengambil kredit itu,” katanya geram.
Ia mengungkapkan telah melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian dan juga ke kantor pusat Kredit Plus. Namun, hingga kini belum ada langkah penyelesaian yang jelas dari pihak perusahaan.
“Mereka hanya memberi nomor call center dan mengalihkan kasus ini ke pihak ketiga, PT Maridong. Namun pihak itu justru menekan saya untuk membayar. Tentu saya menolak,” ungkapnya.
Saharuddin menegaskan akan menempuh jalur hukum untuk memulihkan nama baiknya sekaligus menuntut pertanggungjawaban dari pihak perusahaan pembiayaan yang dianggap lalai dalam melindungi data konsumen.
“Saya akan tuntaskan ini sampai ke ranah hukum. Nama baik saya sudah tercemar, dan perusahaan harus bertanggung jawab. Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi sudah mengandung unsur pidana,” tegasnya menutup pernyataan.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi masyarakat agar lebih berhati-hati menjaga data pribadi, terutama dalam pengajuan kredit secara digital yang semakin marak di Indonesia. Pengawasan dan tanggung jawab lembaga pembiayaan terhadap keamanan data konsumen menjadi hal mutlak yang tidak boleh diabaikan. (*Rz)