Dari situ Syaeful memberi sudut pandang pendidikan antara apa yang terjadi di Yogyakarta. Kemudahan akses masyarakat terhadap segala ruang belajar menjadi bukti kemajuan. Ketika ada satu orang dalam desa yang ingin bergerak untuk literasi atau kerja pendidikan, maka dipastikan daerah itu ada kemajuan. “Jangan sampai sekolah justru mencabut akar budaya pada anak,” tegas Syaeful.
Diskusi berlangsung hangat hingga pukul 18.00 WITA. Para peserta berbagi pandangan tentang bagaimana sekolah seharusnya menjadi ruang tumbuh, bukan sekadar tempat menghafal atau mengejar ijazah.
Menutup diskusi, Sakkir, fasilitator SaESA, menyampaikan harapan:
“Kita butuh sekolah untuk belajar, bertumbuh, dan mengamalkan potensi diri di tengah masyarakat.”
Melalui ruang kecil semacam ini, Sekolah Anak Desa terus menegaskan misinya: merawat gerakan pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan, kebudayaan, dan kebebasan belajar — karena sekolah, dalam arti yang sejati, adalah proses memanusiakan manusia.
( Musakkir Basri)

