PEDOMANRAKYAT, BULUKUMBA - Sore itu, pukul 17.00 WITA, layar diskusi Sekolah Anak Desa (SaESA) kembali menyala. Dalam seri diskusi bertajuk SuarAsaESA #9, para peserta diajak merenungkan satu pertanyaan mendasar namun sering terabaikan: “Mengapa kita butuh sekolah?”
Diskusi kali ini menghadirkan Syaeful Cahyadi, pendiri Perpustakaan Jlegongan sekaligus inisiator Sekolah Desa, seorang pegiat literasi yang telah lama bergiat dalam gerakan pendidikan alternatif. Dengan gaya tutur yang santai namun penuh refleksi, Syaeful mengajak peserta melihat sekolah bukan sekadar bangunan fisik atau sistem administratif, melainkan ruang belajar sosial dan kebudayaan.
“Pertanyaan ini sungguh menarik,” ucapnya membuka pembicaraan. “Kita butuh sekolah, karena di dalamnya ada tiga hal penting: keilmuan, kebudayaan, dan administratif.”
Ia menjelaskan, keilmuan menegaskan kebutuhan manusia untuk belajar dan mencari pengetahuan sebagai makhluk sosial. Kebudayaan, lanjutnya, mengarahkan pendidikan sebagai jalan memperhalus budi pekerti. Sementara administratif menjadi kebutuhan struktural dalam kehidupan bernegara — di mana ijazah sering kali menjadi syarat untuk diakui secara formal dalam sistem sosial dan pekerjaan.
Di balik itu, Sakkir menyinggung paradoks pendidikan modern. Di tengah era teknologi informasi, manusia seolah “dituntut” untuk sekolah, tetapi belum tentu sadar akan makna sejati pendidikan. Ia mempertanyakan, bagaimana dengan mereka yang tidak sekolah? Apakah berarti mereka tidak berpendidikan?
Dari situ Syaeful memberi sudut pandang pendidikan antara apa yang terjadi di Yogyakarta. Kemudahan akses masyarakat terhadap segala ruang belajar menjadi bukti kemajuan. Ketika ada satu orang dalam desa yang ingin bergerak untuk literasi atau kerja pendidikan, maka dipastikan daerah itu ada kemajuan. “Jangan sampai sekolah justru mencabut akar budaya pada anak,” tegas Syaeful.
Diskusi berlangsung hangat hingga pukul 18.00 WITA. Para peserta berbagi pandangan tentang bagaimana sekolah seharusnya menjadi ruang tumbuh, bukan sekadar tempat menghafal atau mengejar ijazah.
Menutup diskusi, Sakkir, fasilitator SaESA, menyampaikan harapan:
“Kita butuh sekolah untuk belajar, bertumbuh, dan mengamalkan potensi diri di tengah masyarakat.”
Melalui ruang kecil semacam ini, Sekolah Anak Desa terus menegaskan misinya: merawat gerakan pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan, kebudayaan, dan kebebasan belajar — karena sekolah, dalam arti yang sejati, adalah proses memanusiakan manusia.
( Musakkir Basri)

