Oleh Ismail Basri
Mahasiswa Dep.Sastra Indonesia FIB/Reporter ‘identitas’ Unhas
Malam mulai menutup usianya. Para penghaus ilmu kewartawanan sebagian pun turut mengunci matanya. Di luar teras villa Bola Datu Kecamatan Panakkukang yang asri dan tersembunyi itu, masih bergema hiburan hingga hampir fajar menjemput. Mereka para wartawan identitas Unhas yang sementara mengikuti adat dalam dunia jurnalistik.
Ketika lelah menghampiri, mereka yang masih berkutat di ruang depan akhirnya berlabuh juga di pulau kapuk. Baru saja terlelap sejenak, ya kurang dari dua jam, seketika suara terdengar di balik pintu kaca kamar:
“Bangun, bangun, bangunn,” riuh di balik kamar yang ternyata teriak kru senior. Kerap dipanggil kak Fahmi yang juga seorang koordinator liputan (Korlip) di Penerbitan Kampus identitas Unhas.
Sontak semua bangun. Berlomba-lomba ke kamar mandi untuk membasuh wajah biar tampak sudah mandi. Biar terkesan segar di pagi hari, kendati ada juga yang benar-benar mandi. Toh, di dunia kewartawanan, wangi sabun bukan syarat untuk menulis berita.
Malam hari, sebelum materi terakhir dibawakan jurnalis detik.com, wartawan identitas Unhas itu sudah menerima materi feature dari kak Imhe (sapaan akrab Irmawati Mawar) yang juga senior jurnalis identitas Unhas. Dari materi itu, para peserta dikdas mendapat oleh-oleh untuk membuat sebuah tulisan.
Mau tidak mau, beranjak dari tempat tidur mengunjungi car free day (CFD). Sebutan pasar kuliner dan sandang di Jl. Boulevard yang sudah jadi ikon kota beberapa tahun terakhir. Kami berkunjung dengan kondisi belum mandi untuk mencari sumbu tulisan. Berbaur dengan warga, para calon wartawan muda itu mulai mencari kisah. Tentang pedagang kaki lima, pencari pahala, pegiat olahraga, hingga seniman jalanan. Semua jadi bahan cerita.
Sekitar pukul 09:00 Wita pagi, sang surya menghantam dari jauh tapi serasa lima sentimeter jaraknya dengan kepala. Saking panasnya. Tapi para pengunjung lalu-lalang. Ttak peduli pada mau bagaimana kondisi matahari. Begitu pun dengan rekan jalan saya pagi itu, Adrian, Wahyu dan Andika.
Setelah beberapa kali mondar-mandir, langkah saya terhenti di depan barisan tenant yang menjajakan aneka buah, minuman, kue dan banyak lagi. Semua ramai. Semua menarik perhatian. Tapi di antara deretan tenant yang bersaing menarik pengunjung, ada satu tenda kecil yang justru tampak sepi. Rupanya itu tenant “Ngaos: Ngaji on The Street.”
Pemiliknya bernama Ogi Lukman Pratama. Umurnya masih muda, tapi semangatnya sudah seperti pendakwah sejati. Ia tergabung dalam komunitas Project Da’wah, sebuah gerakan dakwah anak muda di Makassar yang lahir pada 2018. Dari berbagai program yang mereka jalankan, ngaos menjadi salah satu yang paling sederhana namun bermakna: mengaji di jalanan, terbuka untuk siapa saja.
“Awalnya malu, Kak. Minder juga, apalagi kalau dilihat orang, tapi lama-lama terbiasa. Saya pikir, kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?,” tuturnya sambil tersenyum sedikit saat diwawancarai, Minggu (12/10/2025) pagi itu.
Setiap Minggu pagi, sebelum matahari naik tinggi, Ogi dan kawan-kawan berangkat dari sekretariat Project Da’wah. Menaiki kendaraan roda tiga untuk membawa perlengkapannya. Mereka menempati satu sudut CFD yang dulu gratis, tapi kini dikenai biaya Rp10.000 per pekan. Di situlah mereka membuka ruang kecil bagi siapa pun yang ingin belajar huruf demi huruf dari kitab suci.
Di tengah jerununan (dari kata jerun -- lihat tekukur) surga dunia yang ramai, sibuk mengejar keringat, foto, dan promo, lapak mereka seakan tenggelam. Hanya sesekali orang menoleh. Jarang yang berhenti. Tapi Ogi tak tampak kecewa. Ia tetap menata mushaf. Mengajak siapa pun yang lewat dengan senyum dan sapaan ringan.
Bagi mereka, hasilnya bukan dihitung dari rupiah, tapi dari perubahan kecil yang tumbuh di hati siapa pun yang datang belajar.
“Kita nggak cari untung, Kak. Kita cuma ingin bantu orang yang belum bisa ngaji supaya bisa. Targetnya anak muda, tapi siapa pun boleh,” ujarnya lagi.
Setelah saya melontarkan sejumlah pertanyaan spontan kepada penjaga tenant itu, rasanya masih ada yang kurang. Saya merasa perlu mencari tenant serupa untuk diwawancarai. Angle yang saya ambil adalah sisi surga lain yang tak dilirik.
Sekitar seratus meter melangkah, Adrian rupanya belum juga menemukan cerita menarik. Saya sempat menawarinya beberapa topik. Ada penyanyi difabel. Ada pula tukang bersih-bersih yang tak ingin melihat sampah berserakan. Namun entah apa alasannya, semua itu belum juga menarik perhatiannya.
Kami terus berjalan sekitar lima menit hingga akhirnya menjumpai seorang lelaki tua, bukan asli Makassar, melainkan berasal dari NTB. Tepatnya Lombok. Lelaki paruh baya itu bernama Rijal.
Saya sempat heran ketika lelaki tua itu menyebut jualannya dengan nama “rambut nenek”. Baru kali ini saya mendengar jajanan dengan sebutan unik itu. Adrian akhirnya memutuskan untuk membeli. Sekadar membuka obrolan agar bisa mewawancarainya.
Sambil mereka berbincang, saya ikut menikmati jajanan yang disebut rambut nenek itu. Dari tampaknya, benar saja warnanya putih keabu-abuan, mirip rambut nenek sungguhan. Tapi rasanya manis dan lembut. Seperti gula yang meleleh di lidah.
Usai wawancara dengan penjual rambut nenek itu, langkah kami masih berlanjut. Di antara riuhnya pengunjung dan aroma jajanan yang berseliweran di udara, kami mencoba mencari lagi. Siapa tahu ada kisah serupa dengan narasumber pertama. Kisah tentang ladang pahala yang tersembunyi di balik kesibukan dan hiruk pikuk pasar amal itu. Tapi semakin jauh melangkah, kian sepi juga temuan kami. Tak ada lagi tenant yang seperti tadi. Yang dengan sederhana menjual sesuatu bukan hanya untuk keuntungan, melainkan juga untuk kebaikan.
Kami terus berjalan, menyelisik setiap sudut. Namun hasilnya nihil. Rasanya mulai pusing memikirkan, mau menulis apa dengan modal wawancara yang tak sampai empat menit. Akhirnya, kami pun memutuskan kembali ke lokasi pelatihan, sambil berharap masih ada kisah lain yang bisa diselamatkan dari hari itu. Ternyata yang selamat itu, kisah yang saya tulis ini. (*)

