PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Perwakilan LSM Lintas Pemburu Keadilan mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Makassar untuk mempertanyakan dasar hukum terbitnya surat eksekusi terhadap rumah milik warga bernama Martin Luther yang sebelumnya telah dilelang oleh pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Perwakilan lembaga, Agung, menjelaskan bahwa kedatangan mereka ke PN Makassar pada Jumat (24/10/2025) bertujuan meminta klarifikasi dan penjelasan dari pihak pengadilan, khususnya panitera, terkait surat eksekusi yang dikeluarkan pada 8 Oktober 2025. Surat tersebut disebut-sebut memuat jadwal pelaksanaan eksekusi atau pengosongan objek rumah pada 29 Oktober 2025 mendatang.
“Kami datang ke sini untuk meminta penjelasan serta klarifikasi terkait surat eksekusi yang dikeluarkan oleh panitera pengadilan pada tanggal 8 Oktober. Di dalam surat itu disebutkan dasar hukumnya adalah penetapan Ketua Pengadilan tanggal 17 Juni 2025,” ujar Agung di halaman PN Makassar.
Menurut Agung, langkah pengadilan mengeluarkan surat eksekusi tersebut menimbulkan pertanyaan besar. Pasalnya, Martin Luther selaku pemilik rumah telah mengajukan gugatan melalui kuasa hukumnya sejak 11 Agustus 2025, dan perkara tersebut masih berproses secara aktif di pengadilan hingga saat ini.
“Saudara Martin masih berperkara dan belum ada putusan apa pun, baik kalah maupun menang. Tapi tiba-tiba sudah muncul surat perintah eksekusi. Ini yang kami pertanyakan, di mana letak asas keadilannya?” tegas Agung.
Lebih lanjut, pihak lembaga juga mempertanyakan alasan mengapa surat penetapan yang dikeluarkan Ketua Pengadilan pada 17 Juni 2025 baru akan dieksekusi empat bulan kemudian, yakni pada Oktober 2025, padahal jika penetapan itu berdiri sendiri, seharusnya bisa segera dilaksanakan pada Juni atau Juli.
“Kalau memang surat itu berdiri sendiri, kenapa tidak langsung dilakukan eksekusi di bulan Juni atau Juli? Kenapa baru sekarang, sementara perkara Martin sudah berjalan sejak Agustus? Ini membuat bingung masyarakat dan para pencari keadilan,” ujarnya.
Selain mempertanyakan tindakan pengadilan, Agung juga menyoroti prosedur yang dijalankan oleh pihak BRI dalam proses pelelangan rumah milik Martin. Menurutnya, BRI diduga tidak pernah memberikan pemberitahuan resmi kepada debitur mengenai jumlah tunggakan utang maupun tahapan lelang yang dilakukan.
“Pak Martin mengaku tidak pernah diberitahu secara resmi berapa total utangnya, baik secara lisan maupun tertulis. Bahkan ketika beliau datang langsung ke kantor BRI untuk menanyakan hal itu, tidak pernah ada penjelasan tertulis yang diberikan. Ini kan sangat tidak terbuka,” ungkapnya.
Agung menilai, tindakan pihak BRI yang dinilai tidak transparan dan langkah pengadilan yang dianggap terburu-buru dalam mengeluarkan surat eksekusi, sama-sama telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Kami melihat ada kejanggalan dalam prosedur ini. BRI dan pihak Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) seharusnya lebih hati-hati. Karena ada gugatan yang masih berjalan di pengadilan, seharusnya semua proses eksekusi ditunda dulu demi asas keadilan,” jelas Agung.
Ia menegaskan, lembaganya akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan bahkan tidak menutup kemungkinan akan membawa persoalan ini ke tingkat lebih tinggi, termasuk ke pemerintah pusat.
“Kami akan jadikan kasus ini bahan evaluasi dan laporan, mungkin sampai ke Bapak Presiden nantinya. Karena kami menilai prosedur yang dijalankan tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan dan perlindungan hukum bagi masyarakat kecil,” tutup Agung. (And)

