PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Penanganan dugaan penyimpangan izin tambang batu gamping di Kelurahan Tikala, Kabupaten Toraja Utara, memasuki babak baru.
Setelah berbulan-bulan tertahan di meja Intelijen, berkas penyelidikan kasus itu resmi dilimpahkan ke Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.
Informasi pelimpahan itu dibenarkan oleh seorang pejabat di lingkungan Kejati Sulsel. “Iya, sudah diserahkan ke Pidsus untuk penyelidikan lebih lanjut,” ujar sumber yang tidak ingin disebutkan, di kantor kejaksaan, Jumat, 25 Oktober 2025.
Langkah ini menandai perubahan arah penanganan kasus yang sebelumnya berjalan tersendat. Proses ekspose internal yang sempat tertunda kini rampung, menandakan bidang Intelijen telah menuntaskan tahap awal penyelidikan.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, mengonfirmasi kabar tersebut. “Benar, penyelidikan di bidang Intelijen sudah selesai dan berkasnya diserahkan ke Pidsus. Memang sempat tertunda karena pergantian pimpinan,” katanya.
Ia menambahkan, tim Pidsus kini tengah menelaah ulang berkas sebelum menentukan langkah hukum berikutnya.
Pelimpahan kasus tambang Tikala mendapat sambutan positif dari Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi. Ketua Badan Pekerja ACC, Kadir Wokanubun, menyebut keputusan Kejati Sulsel sebagai sinyal awal, lembaga itu mulai membuka kembali kasus yang lama mandek.
“Kami melihat ini sebagai momentum penting bagi pimpinan baru Kejati Sulsel, yaitu Kajati, Wakajati, dan Aspidsus untuk unjuk keberanian. Kasus ini sudah lama jadi sorotan publik,” kata Kadir kepada media ini, Senin, 27 Oktober 2025.
Menurutnya, masyarakat menaruh harapan besar agar kepemimpinan baru di Kejati tak mengulangi kesalahan lama. “Kasus ini warisan dari pimpinan sebelumnya. Jadi publik menunggu apakah Kajati baru berani menuntaskannya,” ujar Kadir.
ACC juga mendesak agar tim Pidsus segera memeriksa semua pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, hingga perusahaan tambang.
Kadir menegaskan penyelidikan mesti menelusuri potensi penyalahgunaan kewenangan serta pelanggaran tata ruang yang berujung pada dugaan korupsi.
“Jika ada pelanggaran hukum, jangan berhenti di meja penyelidikan. Harus naik ke penyidikan,” katanya.
Kasus tambang Tikala, kata Kadir, berawal dari terbitnya izin usaha pertambangan batu gamping untuk CV BD, yang diduga tidak memiliki dasar hukum tata ruang.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Toraja Utara 2012–2032, wilayah Tikala tidak tercantum sebagai zona pertambangan.
Selain menyalahi RTRW, ujarnya, aktivitas tambang juga dinilai mengancam situs budaya Tongkonan Marimbunna dan sumber mata air Bombong Wai, dua titik penting yang menjadi bagian dari identitas dan sumber kehidupan masyarakat setempat.
Rektor Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) sekaligus tokoh masyarakat Toraja Utara, Prof. Agus Salim, menilai penerbitan izin tersebut mencerminkan lemahnya kepatuhan terhadap hukum tata ruang.
“RTRW itu hukum dasar pembangunan daerah. Melanggarnya berarti mengabaikan tatanan hukum yang paling mendasar,” ujarnya.
DPRD Sulsel melalui Komisi D sebelumnya juga telah mengeluarkan rekomendasi untuk memperkecil area tambang dari 24,9 hektare menjadi 5 hektare serta menghentikan sementara kegiatan eksploitasi hingga semua syarat hukum, sosial, dan lingkungan dipenuhi.
Dengan berkas penyelidikan kini di tangan penyidik Pidsus, sorotan publik tertuju pada pimpinan baru Kejati Sulsel. Pelimpahan ini menjadi ujian pertama bagi mereka dalam menunjukkan keseriusan menegakkan hukum di sektor sumber daya alam, yang selama ini kerap menjadi ladang kompromi kekuasaan.
“Kalau Kajati baru berani menuntaskan perkara ini, kepercayaan publik terhadap kejaksaan bisa pulih,” kata Kadir Wokanubun.
“Tapi jika kasus ini kembali mandek, itu akan mencoreng wajah penegakan hukum di Sulsel,” tuturnya.
Bagi warga Tikala, tambang batu gamping bukan sekadar perkara izin atau pelanggaran administrasi. Ia menyangkut masa depan kampung, situs budaya, dan sumber air.
Pelimpahan kasus ke Pidsus menjadi harapan kecil di tengah rasa pesimis yang terlanjur tumbuh.
“Yang kami tunggu sekarang bukan janji, tapi tindakan,” tandas Prof. Agus, lirih. (Hdr)

