Denyut Kehidupan di Car Free Day: (9) Jejeran Kukusan Hasil Bumi Uapi Jl. Boulevard

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Andi Nadya Tenrisulung
Prodi Sastra Jepang FIB/Magang ‘identitas’

Kepulan asap dari dandang, ‘menari’ mengepul menggoda sepasang mata untuk mendekat. Dijajalinya hasil bumi beraneka warna duduk rapi beraturan. Bentuknya besar-besar dijual Rp10.000 per tiga buah. Ada jagung rebus, labu kuning, ubi jalar, telur rebus, bubur ayam, bubur kacang hijau, buah segar, bubur ketan hitam, hingga bubur Manado.
Satu-satunya, ingatan pertama Minggu pagi ialah sengatan matahari menerpa kru dan magang identitas, Penerbitan kampus Universitas Hasanuddin. Perjalanan menuju Car Free Day (CFD) Boulevard tidak memakan waktu lama dari tempat kami bermukim sementara. Sekitar 500m sepasang kaki berjalan menyapu pagi.
Penandangan pertama, kami dihadapkan pada tenant yang menjajakan gorengan. Melihat gorengan, saya teringat beberapa tahun silam. Gorengan merupakan jajanan favorit teman-teman semasa di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) 2017 silam.

Selain gorengan, ada juga nasi kuning, nasi uduk, juga roti bakar dengan lumuran “susu” kental manis. Jauh dari 2025, tetapi 2 tahun lebih dekat dengan fenomena kopi dalgona yang diaduk berirama mulai mencuat ramaikan laman sosial media. Namun, sekarang dalgona telah redup. Gorengan masih jadi nomor satu. Tapi apakah real food akan anggun melambung maju?

Masih kurang kenyang? Telur rebus lonjong sempurna bertengger di samping kompor. Aroma rempah bubur manado yang beradu dengan ikan asin meruah penuhi indra penciuman. Dengan sigap tak sampai 5 menit lapak dipenuhi rombongan perempuan berumur. “Aji, aji, mariki’ singgahki’ ada bubur Manado, kukusan, kukusan, kukusan,” seru Ibu Aji Ariani, yang umurnya enggan disebut.

Setelah enam menit mengobrol, saya dan seorang teman, Fitri, mulai memperhatikan pola berulang caranya menyeru pada calon pengempu kukusan. Terdengar sederhana, Aji; sebutan bagi orang yang telah menunaikan ibadah haji. Namun Aji Ariani membagikan namanya untuk menarik pembeli. Tampaknya, ibu-ibu lumayan tersanjung dipanggil Aji atau mungkin sapaan turun temurun yang mulanya berakar dari prestise sosial. Untuk mencapai spiritual tersebut, harganya lumayan merogoh kocek.

Baca juga :  Pesan Kebenaran Musa AS Kepada Firaun

Anak Aji Ariani tengah merantau ke Ternate sementara dirinya berjibaku bersama alat tajam mengerat buah hingga akhirnya dijajarkan pula di meja setinggi pinggang rata-rata tinggi perempuan di Indonesia. Sebagian menundukkan leher menyipitkan mata menyeleksi hasil bumi apa yang sekiranya diperbolehkan mengamankan gelojoh -- suka makan banyak -- perut.
Katanya, mengukus pangan hasil berburunya di pasar tidak sesusah mengadon tepung terigu hingga akhirnya menjadi kawanan bala-bala. Pagi hari cukup ramah padanya, lapak sejuk dengan hangatnya hasil bumi menemani tangannya yang terampil melayani pembeli. Menanggapi kami, dan mengorganisasi besar api.

Masalah sarapan kriuk, Aji Ariani punya melon berpotongan besar bersama dengan pepaya dan semangka menyesakkan tutup thinwall (alat tipis) yang hampir susah ditutup. Panasnya Makassar cukup terobati dengan air buah yang menggulir mengetuk satu-satu alat bicara kami yang sempat serak dijemur campuran sinar matahari dan lalu lalang udara pengunjung.
Kalimat “kukusannya Aji,” seakan menyihir telinga rombongan ibu-ibu senam yang berpeluh menggerakkan badan usai menghadiri kelas zumba dengan lagu paling energik tahun ini. Habis berolahraga, mereka makan sehat, dan bersama teman. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

“Sudah banyak yang menjual pakaian, jadinya saya mulai tidak menjual pakaiaan. Kukusan alhamdulillah ramai yang beli,” ucapnya sambil jongkok sibuk meraba-raba kantong bawaannya mencari plastik kecil untuk membungkus ikan asin berukuran sedang sebelum diberikan kepada pembeli.

Tangannya cekatan mengemas bubur ayam dalam thinwall. Menutupnya rapat berharap hangatnya berlindung pada bulir-bulir bubur meski lama bersemayam di bawah penutup plastik itu. Kerupuk bawang aneka warna juga dijajakan melengkapi hierarki bubur ayam bertekstur lembut, gurih, berpesta di mulut bersama kriuknya kerupuk.

Baca juga :  Pelajaran Hukum dari Kejati, Bahaya Narkoba dan Ancaman Masa Depan di Hadapan Siswa Al Fatih

Adanya kukusan di tengah melonjaknya hidangan penuh tepung cukup menjanjikan kesehatan perut dan dompet. Tidak melibatkan poster gonjreng, teriakan monoton, pemandangan mengukus dan menyiapkan makan pagi seolah menjadi pertunjukan sementara bagi siapa pun yang berjalan di depan lapak.

Pemandangan yang biasa terlihat di dalam singgasana pribadi tanpa aba-aba muncul saat mencari nasi. Berakhir membawa memori tentang ibu yang dulu selalu menyiapkan makan pagi. Nenek yang bangun lebih cepat dari ayam jantan, hingga ingatan tentang tetangga beberapa blok terlintas ketika kulit umbi-umbian yang mulai layu dikukus melebarkan aromanya.

Laju kota beradu dengan agenda jalan kaki dan obrolan hangat bersama keluarga memenuhi Jalan Boulevard mengajak sepuluh jari kaki di bawah untuk melangkah lebih pelan dan lebih pelan lagi. Perut yang rindu akan suasana dapur belakang di rumah nenek bagaikan konsep mula Aji Ariani menyajikan haru di tengah kukus meskipun ia memetik rezeki di jalan masih berumur varietas sawi; 3 minggu.
Tidak dijual banyak, dipajang apik, lebih khawatir tak bisa habis terjual karena seorang ibu yang menjaga kompor sudah cukup merepotkan jika ditambah dengan pengawet lemari pendingin. Aji Ariani lebih mengerti rasanya cukup dibandingkan kisanak dan nisanak yang sibuk memenjarakan mata pada layar alih-alih ikut terbawa aroma manisnya ubi dan manisnya pepaya. Bersamanya, bak ibu dan dua anak yang menggelar karpet kuning asik mengunyah bersama balitanya.
Makanan tidak hanya menjadi kebutuhan yang menyimpan kalori dan memori, namun juga bagaimana tatanan masyarakat terselip di dalamnya. Siapa yang membeli apa, siapa yang menjual apa, dan apa yang dijajakan di mana.
Konstruksi dapur akan terlihat kompleks bila dilihat lebih dekat dan dikunyah pelan-pelan. Bagaimana bahan pangan hasil jerih payah petani dipisahkan dari tanah yang mengandungnya. Bulir keringat supir mobil pick up yang menempel dengan kaus bersablon paslon yang sudah tak tercium pedulinya. Pembeli yang mencari kenyang dalam saldo yang enggan berbayang.
Umbi-umbian bukan cuma sumber karbohidrat kompleks. Telur bukan cuma sumber protein terjangkau. Bubur kacang hijau bukan cuma kudapan nenek yang lezat rasanya. Namun juga ada seorang Ibu yang membagikan sedikit potongan dapurnya kepada siapa yang membutuhkan kenyang sebelum akhirnya didudukkan tanggung jawab sosial tak berujung setiap hari Minggu. (*)

Baca juga :  Prihatin Kondisi Kesehatan Gigi pada Anak, PDGI Sinjai Gelar Baksos di Kalangan Pelajar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Dalam Festival Sapi APPSI di Jember, Mentan Amran Dorong Kemandirian Daging Nasional

PEDOMANRAKYAT, JEMBER - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menghadiri Festival Sapi APPSI Bupati Jember Cup Season 2...

Mentan Amran Sebut Pertanian Solusi Selesaikan Kemiskinan Ekstrem di Jember

PEDOMANRAKYAT, JEMBER - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa sektor pertanian merupakan solusi paling efektif untuk...

Kakanwil Kemenag Sulsel Lantik 10 Pejabat Administrator

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan, H. Ali Yafid, melantik sepuluh pejabat administrator...

Semangat Apresiasi Guru, SD Inpres Hartaco Indah Hadir di Puncak HGN BBGTK Sulsel

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR -- Murid UPT SPF SD Inpres Hartaco Indah memeriahkan puncak peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun...