Di tengah keacuhan itu, ada suara yang tidak berhenti pada kebahagiaan pribadi. Suara yang mengudarakan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Arakan orang-orang dari segala usia, ras, dan kelas itu mengumandangkan kalimat yang sama: “FREE FREE PALESTINE!” Tidak sulit mendapati dan menyadari apa inti kegiatan itu. Dari syal hijau-merah-putih, gadis muda yang membagikan potongan semangka gratis, spanduk biru bergambar bendera negara zion terbentang di aspal dan silih berganti dipijaki demonstran: mereka bergerak untuk saudaranya di Palestina.
Dengan cepat kami ikut berjejer di barisan belakang, mendapati sekelompok pemuda berbusana senada yang ikut berjalan di sengatan matahari pagi. Mereka adalah bagian dari salah satu komunitas yang kerap turun tangan menangani isu-isu kemanusiaan, gencatan genosida ini pun tak luput dari atensi mereka.
“Ini gerakan gabungan dari beberapa komunitas kemanusiaan di Makassar,” jelas Tatan, saat kami sodori telepon genggam dengan voice record menyala. Katanya, agenda ini rutin dilakukan tapi sifatnya tidak terjadwal. Meskipun begitu, hal ini tentunya tidak menyurutkan antusiasme peserta. Mereka terlihat dengan semangat melaksanakan agenda mereka. Bahkan di tengah berbagai distraksi yang seringkali membuat kita beralih. Saat ditanya kenapa?
“Keadilan,” jawabnya singkat.
Parade adalah salah satu dari berbagai bentuk bantuan yang diupayakan relawan demi meringankan sedikit beban di pundak penduduk Palestina hingga saat ini. Mulai dari galang dana, hingga tawaran jasa dengan profit yang seratus persen didonasikan untuk kegiatan kemanusiaan dengan semangat dijalankan. Hal-hal ini kelihatannya turut menggerakkan hati pengunjung lain, yang akhirnya ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam berbagai cara.
Apa yang dilakukan Tatan dan teman-teman menjadi bukti bahwa masih tersisih empati di tengah kompleksitas kehidupan masa kini. Masih ada peduli di sela kesibukan pribadi yang menemani keseharian kita. Hal-hal sederhana seperti ini, yang mungkin tampak sepele, nyatanya juga menunjukkan bahwa ruang publik bisa, dan masih menyisihkan wadah bagi rasa kasih mengasihi. Di antara hiruk-pikuk kota dan aroma jajanan, suara keadilan tetap menemukan jalannya.
Ada pahit manis saat melihat pemandangan ini terbentang di mata, melihat kemanusiaan yang tak ada matinya. Begitu pula dengan kekejaman. Mungkin itu pula yang membuat Tatan menutup wawancara kami pagi itu dengan kalimat, “semoga relawan kemanusiaan seperti kami tidak dibutuhkan lagi di belahan dunia mana pun”.

