Salah seorang relawan saat melakukan parade di CFD Boulevard, Minggu (12/10).
(Foto: IDENTITAS/Aqifah Naylah Alifya Safar).
Aqifah Naylah Alifya Safar
Prodi Manajemen FEB/Magang ‘identitas’
Bentang dua bilah jalan yang biasanya penuh deru kendaraan bermotor menguarkan nada berbeda di Minggu 912/10/2025) pagi itu. Klakson mobil dan motor terganti oleh riuh gelak tawa, obrolan lewat, hingga sahutan konstan anak-anak pedagang makanan ringan. Udara pagi itu juga berbeda dengan debu dan asap knalpot yang rehat sejenak. Pemandangan ini bukan hal baru, 730 meter ruas jalan itu memang sudah aktif difungsikan sebagai area bebas kendaraan bermotor setiap hari Minggu dari pukul 06.00 hingga 10.00 pagi. Langkah kaki sekelompok pemuda menapaki aspal jalan dari Rumah Datu’ hingga lokasi Car Free Day (CFD).
“Ikuti kakak bimbingnya, ya! Jangan berpencar!,” seru salah satu reporter yang suaranya dengan cepat diredam kebisingan lain di area itu.
Bermodalkan dompet digital, telepon genggam, dan mata yang siap ber-kepo ria, magang 56 akhirnya memulai perburuan bahan tulisan feature mereka. Menjajaki denyut pagi yang sejenak terlepas dari sahabatnya: bising dan debu.
CFD ini awalnya ditujukan untuk mempromosikan gaya hidup lebih sehat, mengurangi polusi udara serta mengurangi kemacetan jalan— tiga permasalahan yang terlampau sering mengintili (?) pemukim Kota Daeng. Tapi seiring berjalannya waktu, CFD mulai mengambil peran baru, yakni menjadi ruang sosial, ekonomi, dan bahkan ekspresi.
“Ini (jalanan) kan dibagi dua: sebelah sini khusus untuk menjual, sebelah sana buat olahraga,” jelas Pak Usman, pemilik satu dari ratusan tenant yang membentang sepanjang ruas arah selatan Jalan Boulevard. Kehadiran pemilik tenant-tenant ini kerap kali mengalihkan fokus pengunjung. Aroma ragam makanan, dari roti-rotian hingga ikan asap, menguar di udara. Tidak berhenti di kudapan, pedagang juga turut menjajakan baju, pernak-pernik, hingga makhluk hidup sebagai tawaran. Suara pengeras musik dari stand senam bersaing dengan lantunan ayat-ayat suci dari lapak sebelah. Tidak heran, motif kunjungan CFD belakangan ini sangat bervariasi, ada yang datang untuk berlari. Ada yang berbelanja. Ada pula yang menjadikan agenda ini sebagai ajang bonding bersama keluarga. Entah preferensi atau fokus yang terbagi, manusia di sini sibuk dengan urusannya sendiri.
Di tengah keacuhan itu, ada suara yang tidak berhenti pada kebahagiaan pribadi. Suara yang mengudarakan kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Arakan orang-orang dari segala usia, ras, dan kelas itu mengumandangkan kalimat yang sama: “FREE FREE PALESTINE!” Tidak sulit mendapati dan menyadari apa inti kegiatan itu. Dari syal hijau-merah-putih, gadis muda yang membagikan potongan semangka gratis, spanduk biru bergambar bendera negara zion terbentang di aspal dan silih berganti dipijaki demonstran: mereka bergerak untuk saudaranya di Palestina.
Dengan cepat kami ikut berjejer di barisan belakang, mendapati sekelompok pemuda berbusana senada yang ikut berjalan di sengatan matahari pagi. Mereka adalah bagian dari salah satu komunitas yang kerap turun tangan menangani isu-isu kemanusiaan, gencatan genosida ini pun tak luput dari atensi mereka.
“Ini gerakan gabungan dari beberapa komunitas kemanusiaan di Makassar,” jelas Tatan, saat kami sodori telepon genggam dengan voice record menyala. Katanya, agenda ini rutin dilakukan tapi sifatnya tidak terjadwal. Meskipun begitu, hal ini tentunya tidak menyurutkan antusiasme peserta. Mereka terlihat dengan semangat melaksanakan agenda mereka. Bahkan di tengah berbagai distraksi yang seringkali membuat kita beralih. Saat ditanya kenapa?
“Keadilan,” jawabnya singkat.
Parade adalah salah satu dari berbagai bentuk bantuan yang diupayakan relawan demi meringankan sedikit beban di pundak penduduk Palestina hingga saat ini. Mulai dari galang dana, hingga tawaran jasa dengan profit yang seratus persen didonasikan untuk kegiatan kemanusiaan dengan semangat dijalankan. Hal-hal ini kelihatannya turut menggerakkan hati pengunjung lain, yang akhirnya ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam berbagai cara.
Apa yang dilakukan Tatan dan teman-teman menjadi bukti bahwa masih tersisih empati di tengah kompleksitas kehidupan masa kini. Masih ada peduli di sela kesibukan pribadi yang menemani keseharian kita. Hal-hal sederhana seperti ini, yang mungkin tampak sepele, nyatanya juga menunjukkan bahwa ruang publik bisa, dan masih menyisihkan wadah bagi rasa kasih mengasihi. Di antara hiruk-pikuk kota dan aroma jajanan, suara keadilan tetap menemukan jalannya.
Ada pahit manis saat melihat pemandangan ini terbentang di mata, melihat kemanusiaan yang tak ada matinya. Begitu pula dengan kekejaman. Mungkin itu pula yang membuat Tatan menutup wawancara kami pagi itu dengan kalimat, “semoga relawan kemanusiaan seperti kami tidak dibutuhkan lagi di belahan dunia mana pun”.

