Rasa penasaran mendorong saya untuk mendekat. Mengikuti suara riang anak-anak yang tumpah di udara pagi itu. Di antara deretan warna-warni odong-odong yang berputar perlahan, pandangan saya tertuju pada seorang pria berwajah teduh, Irwan Dg Tiro, 51 tahun, supir odong-odong yang sudah enam tahun menghabiskan harinya di jalanan Makassar.
Beliau menyambut saya dengan senyum ramah, meskipun gurat lelah tampak jelas di wajahnya. Pagi itu, di sela tawa anak-anak yang menunggang odong-odongnya, kami berbincang singkat. Dari ceritanya saya tahu, profesi ini bukanlah pilihan, melainkan jalan satu-satunya yang tersisa.
“Modalnya dari bos,” katanya pelan.
“Saya cuma bawa saja, setiap hari,” Suaranya datar, namun di balik kata-kata sederhana itu tersimpan cerita panjang tentang perjuangan.
Enam tahun lalu, hidupnya berubah drastis. Sebuah kecelakaan membuat kedua kakinya tak lagi sama. Ia tak lagi bisa bekerja seperti dulu, dan sejak saat itu, satu-satunya harapan yang tersisa hanyalah setir odong-odong dan tawa anak-anak di kursi warna-warninya. Setiap hari, Irwan menggantungkan hidup pada suara musik mainan dan riuh bahagia yang menemaninya dari pagi hingga senja. Suara itulah yang menjadi iklan odong-odongnya. Dalam tatapannya yang teduh, saya melihat kepasrahan sekaligus kekuatan. Ia tidak banyak menuntut. Tidak pula mengeluh. Katanya, “Yang penting bisa kerja, Nak… bisa bikin anak-anak senang,” terdengar kalimat itu terucap lirih, namun menggema lama di kepala saya.
Di balik keceriaan odong-odong yang berputar itu, tersimpan kisah tentang keteguhan hati seorang pria yang memilih bertahan, meski hidup sudah tak lagi berpihak sepenuhnya.
Sejumlah tantangan harus ia hadapi setiap hari. Rantai odong-odong yang seringkali putus. Roda yang kadang macet. Hingga, mesin yang tiba-tiba mogok membuat pekerjaannya tak selalu berjalan mulus.
“Kalau sudah begitu, ya terpaksa tidak bisa keluar,” ujarnya dengan nada pasrah.
Namun bukan hanya itu. Hujan juga menjadi ujian lain baginya. Bagi sebagian orang, hujan mungkin membawa rasa rindu atau ketenangan, tetapi bagi Irwan, hujan berarti pintu rezeki yang tertutup.
“Kalau hujan, anak-anak tidak datang,”. Di saat banyak orang menikmati aroma tanah basah, Irwan justru harus rela kehilangan pendapatannya hari itu. Pendapatan yang ia peroleh pun tak seberapa. Hanya sekitar seratus hingga dua ratus ribu rupiah per hari. Bergantung seberapa banyak anak-anak yang datang bermain. Kadang, tak satu pun anak naik, karena ada orang tua yang melarang atau lebih memilih mengajak anaknya pulang lebih cepat.
Namun Irwan tidak pernah menghitung untung rugi seperti para pemilik modal besar. Ia tidak mengejar kekayaan. Tidak pula bermimpi tentang laba berlipat. Baginya, cukup bisa membawa pulang sedikit uang untuk membeli beras dan memenuhi kebutuhan keluarganya sudah menjadi berkah yang patut disyukuri. Yang penting, asap dapur dapat terus mengepul.
Wawancara singkat itu mengubah cara pandang saya terhadap dunia. Hanya beberapa menit berbincang, tapi rasanya seperti menyingkap jendela baru dalam memahami kehidupan. Dari balik tawa anak-anak yang riang di atas odong-odong dan suara musik yang berputar pelan, ternyata saya belajar memaknai hidup dari sudut yang sederhana namun penuh makna.
Pak Irwan, sang supir odong-odong, bercerita tentang kehidupannya dengan nada tenang. Seolah segala lelah dan getir sudah menjadi bagian alami dari hidup yang harus disyukuri. Cara ia memandang dunia membuat saya tertegun. Ada keikhlasan yang jarang saya temui. Ada kebahagiaan yang tumbuh bukan dari berlimpahnya materi, melainkan (tapi) dari tawa anak-anak yang ia antar berputar keliling CFD setiap hari Minggu.
Usai perbincangan itu, saya melanjutkan langkah mencari sarapan semangkuk bubur di pinggir jalan. Namun di tengah perjalanan, hati saya tergerak untuk kembali. Entah kenapa, ada rasa yang belum tuntas. Saya membeli seporsi makanan berat dan kembali ke tempat Pak Irwan mangkal.
Saya bukan orang kaya, tapi saat itu saya merasa berutang. Bukan dalam bentuk uang atau barang, melainkan pada cerita yang begitu berharga. Cerita yang dibagikan dengan tulus tanpa pamrih. Cerita yang telah mengubah cara pandang saya tentang hidup dan kehidupan ini. Kisah seorang Irwan yang telah memberi saya banyak pelajaran tentang arti ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup ini. Tidak mudah bagi seseorang untuk membuka diri dan menuturkan kisah hidupnya, apalagi kisah tentang perjuangan yang mungkin penuh luka.
Di cerita CFD pagi itu dan dari Pak Irwan, saya menyadari satu hal. Kadang pelajaran paling berharga justru datang dari tempat paling sederhana mungkin. Dari odong-odong tua, Tawa anak-anak dan seorang lelaki yang tetap tersenyum meskipun hidup tak selalu mudah. Di balik kesederhanaan pekerjaannya, tersimpan perjuangan tanpa henti untuk bertahan hidup dengan keterbatasan yang ada.
Sepulang Car Free Day (12/10-2025)

