Denyut Kehidupan di Car Free Day: (13) Semangkuk Bubur “Dari Roda Odong-Odong ke Roda Kehidupan”

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Aynun Lutfiya Prodi Manajemen FEB/Magang ‘identitas’

Setiap Minggu pagi, Boulevard berubah menjadi panggung warna-warni dan hiruk-pikuk yang penuh energi. Suara bising mesin kendaraan dan klakson hilang, berganti tawa ceria anak-anak. Berbaur dengan langkah kaki para pelari, serta suara sepeda yang meluncur dengan tenang. Car Free Day di Boulevard menjadi waktu khusus bagi warga Kota Makassar untuk menikmati segarnya udara, berolahraga, atau sekedar menghabiskan waktu akhir pekan bersama keluarga. Suasana yang akrab dan penuh kehangatan ini bukan sekadar kegiatan rutin, melainkan sebuah gerakan untuk menjalani hidup sehat yang menghubungkan berbagai lapisan masyarakat dalam sebuah harmoni kota yang sibuk menjadi tenang dalam sehari.
Pagi itu, saya dan Suci, rekan sekelompok saya, berjalan santai dari villa tempat kami menginap. Udara masih segar. Matahari belum terlalu terik. Lokasi Car Free Day (CFD) tak begitu jauh. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit berjalan kaki, dan kami sudah sampai di keramaian. Begitu menginjakkan kaki di area CFD, aroma jajanan langsung menyergap harum gorengan, wangi kopi, dan bau manis dari jajanan tradisional saling berlomba memenuhi udara.

Kami mulai menyusuri jalan. Melihat-lihat aktivitas yang beragam. Ada yang sibuk menggelar dagangan. Ada yang membawa burung hidup untuk dijual di bawah tenda kecil. Ada pula seniman yang sepanjang jalan bernyanyi menambah kebisingan. Meskipun hari itu, Minggu, suasananya jauh dari kata malas atau lengang. Sebaliknya, hidup dan riuh, seperti dunia yang menolak diam.

Di satu sisi jalan, orang-orang tawar-menawar harga. Sementara di sisi lain, para pelari dan pesepeda melintas ringan. Beberapa dari mereka akhirnya berhenti juga sama seperti saya terpikat oleh godaan tenant pentol goreng yang aromanya sejak tadi tak henti-henti menggoda. Tapi, jujur saja, bagi saya pentol dekat Kampus Teknik tetap belum ada tandingannya.

Sambil terus berjalan, saya mulai memikirkan sarapan. Tujuan utama saya pagi itu sebenarnya sederhana, mencari sesuatu yang cukup mengenyangkan untuk menahan lapar sampai siang. Di tengah keramaian itu, tiba-tiba saya teringat sesuatu, bubur. Entah kenapa, pagi-pagi begini rasanya bubur adalah jawaban yang tepat. Hangat, lembut, dan nyaman di perut. Saya pun mulai menengok ke kanan dan kiri, berharap ada penjual bubur di antara jejeran tenda dan gerobak makanan yang memenuhi sisi jalan.

Baca juga :  Naharuddin , Ketua PGRI Soppeng 2025-2030

Alih-alih menemukan bubur, perhatian saya justru tertuju pada sosok bapak pemilik odong-odong yang berdiri di seberang jalan. Di tengah hiruk-pikuk dan keramaian yang tak kunjung berhenti, hanya dia yang tampak diam menatap dengan mata teduh ke arah lautan pengunjung yang lalu lalang tanpa henti. Wajahnya yang sedikit keriput memancarkan keheningan yang kontras dengan dinamika sekitar.

Saya berhenti sejenak. Menatapnya lebih dekat. Odong-odongnya terlihat sederhana. Tak sesemarak stan-stan lain yang dipenuhi lampu warna-warni dan banner besar. Namun di balik kesederhanaan itu, ada sesuatu yang membuat saya bertanya-tanya. “Apakah ia sedang menikmati momen ini? Atau justru merasakan kesepian di tengah keramaian?,” saya membatin.

Bapak itu tidak seperti pedagang lain yang sibuk menawarkan dagangan atau menyapa pengunjung. Ia berdiri tegak, seolah menjadi saksi bisu dari cerita-cerita yang berlalu di Boulevard ini cerita tentang mereka yang berolahraga, mereka yang berdagang, dan mereka yang sekadar ingin melepas penat. Dia tidak berteriak mempromosikan “jualannya”. Hanya menunggu. Itu pun semuanya anak-anak. Sesekali ia mengusap keringat di dahinya, lalu menatap ke arah anak-anak yang berlarian menuju odong-odong miliknya.
Momen itu membuat saya tersadar di tengah riuhnya kehidupan, masih ada orang-orang yang berdiri diam, penuh kesabaran dan harapan. Seperti bapak odong-odong ini, yang mungkin bukan sekadar mencari penghasilan, melainkan (tapi) juga menebar senyum dan kebahagiaan kecil bagi anak-anak yang menunggu giliran naik wahana sederhananya.

Rasa penasaran mendorong saya untuk mendekat. Mengikuti suara riang anak-anak yang tumpah di udara pagi itu. Di antara deretan warna-warni odong-odong yang berputar perlahan, pandangan saya tertuju pada seorang pria berwajah teduh, Irwan Dg Tiro, 51 tahun, supir odong-odong yang sudah enam tahun menghabiskan harinya di jalanan Makassar.

Beliau menyambut saya dengan senyum ramah, meskipun gurat lelah tampak jelas di wajahnya. Pagi itu, di sela tawa anak-anak yang menunggang odong-odongnya, kami berbincang singkat. Dari ceritanya saya tahu, profesi ini bukanlah pilihan, melainkan jalan satu-satunya yang tersisa.
“Modalnya dari bos,” katanya pelan.
“Saya cuma bawa saja, setiap hari,” Suaranya datar, namun di balik kata-kata sederhana itu tersimpan cerita panjang tentang perjuangan.

Baca juga :  Kapolres Pelabuhan Makassar Sambangi Warga Ujung Tanah, Tegaskan Keamanan Adalah Tanggung Jawab Bersama

Enam tahun lalu, hidupnya berubah drastis. Sebuah kecelakaan membuat kedua kakinya tak lagi sama. Ia tak lagi bisa bekerja seperti dulu, dan sejak saat itu, satu-satunya harapan yang tersisa hanyalah setir odong-odong dan tawa anak-anak di kursi warna-warninya. Setiap hari, Irwan menggantungkan hidup pada suara musik mainan dan riuh bahagia yang menemaninya dari pagi hingga senja. Suara itulah yang menjadi iklan odong-odongnya. Dalam tatapannya yang teduh, saya melihat kepasrahan sekaligus kekuatan. Ia tidak banyak menuntut. Tidak pula mengeluh. Katanya, “Yang penting bisa kerja, Nak… bisa bikin anak-anak senang,” terdengar kalimat itu terucap lirih, namun menggema lama di kepala saya.
Di balik keceriaan odong-odong yang berputar itu, tersimpan kisah tentang keteguhan hati seorang pria yang memilih bertahan, meski hidup sudah tak lagi berpihak sepenuhnya.

Sejumlah tantangan harus ia hadapi setiap hari. Rantai odong-odong yang seringkali putus. Roda yang kadang macet. Hingga, mesin yang tiba-tiba mogok membuat pekerjaannya tak selalu berjalan mulus.
“Kalau sudah begitu, ya terpaksa tidak bisa keluar,” ujarnya dengan nada pasrah.
Namun bukan hanya itu. Hujan juga menjadi ujian lain baginya. Bagi sebagian orang, hujan mungkin membawa rasa rindu atau ketenangan, tetapi bagi Irwan, hujan berarti pintu rezeki yang tertutup.
“Kalau hujan, anak-anak tidak datang,”. Di saat banyak orang menikmati aroma tanah basah, Irwan justru harus rela kehilangan pendapatannya hari itu. Pendapatan yang ia peroleh pun tak seberapa. Hanya sekitar seratus hingga dua ratus ribu rupiah per hari. Bergantung seberapa banyak anak-anak yang datang bermain. Kadang, tak satu pun anak naik, karena ada orang tua yang melarang atau lebih memilih mengajak anaknya pulang lebih cepat.
Namun Irwan tidak pernah menghitung untung rugi seperti para pemilik modal besar. Ia tidak mengejar kekayaan. Tidak pula bermimpi tentang laba berlipat. Baginya, cukup bisa membawa pulang sedikit uang untuk membeli beras dan memenuhi kebutuhan keluarganya sudah menjadi berkah yang patut disyukuri. Yang penting, asap dapur dapat terus mengepul.
Wawancara singkat itu mengubah cara pandang saya terhadap dunia. Hanya beberapa menit berbincang, tapi rasanya seperti menyingkap jendela baru dalam memahami kehidupan. Dari balik tawa anak-anak yang riang di atas odong-odong dan suara musik yang berputar pelan, ternyata saya belajar memaknai hidup dari sudut yang sederhana namun penuh makna.

Baca juga :  Jaga Keandalan Listrik, PLN UP3 Bulukumba Lakukan Pemeiharaan Terpadu di Tellulimpoe

Pak Irwan, sang supir odong-odong, bercerita tentang kehidupannya dengan nada tenang. Seolah segala lelah dan getir sudah menjadi bagian alami dari hidup yang harus disyukuri. Cara ia memandang dunia membuat saya tertegun. Ada keikhlasan yang jarang saya temui. Ada kebahagiaan yang tumbuh bukan dari berlimpahnya materi, melainkan (tapi) dari tawa anak-anak yang ia antar berputar keliling CFD setiap hari Minggu.
Usai perbincangan itu, saya melanjutkan langkah mencari sarapan semangkuk bubur di pinggir jalan. Namun di tengah perjalanan, hati saya tergerak untuk kembali. Entah kenapa, ada rasa yang belum tuntas. Saya membeli seporsi makanan berat dan kembali ke tempat Pak Irwan mangkal.

Saya bukan orang kaya, tapi saat itu saya merasa berutang. Bukan dalam bentuk uang atau barang, melainkan pada cerita yang begitu berharga. Cerita yang dibagikan dengan tulus tanpa pamrih. Cerita yang telah mengubah cara pandang saya tentang hidup dan kehidupan ini. Kisah seorang Irwan yang telah memberi saya banyak pelajaran tentang arti ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup ini. Tidak mudah bagi seseorang untuk membuka diri dan menuturkan kisah hidupnya, apalagi kisah tentang perjuangan yang mungkin penuh luka.

Di cerita CFD pagi itu dan dari Pak Irwan, saya menyadari satu hal. Kadang pelajaran paling berharga justru datang dari tempat paling sederhana mungkin. Dari odong-odong tua, Tawa anak-anak dan seorang lelaki yang tetap tersenyum meskipun hidup tak selalu mudah. Di balik kesederhanaan pekerjaannya, tersimpan perjuangan tanpa henti untuk bertahan hidup dengan keterbatasan yang ada.
Sepulang Car Free Day (12/10-2025)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Bhabinkamtibmas Pulau Barrang Lompo Sambangi Warga, Laksanakan Patroli dan Silaturahmi Penuh Kehangatan

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Suasana berbeda terasa di Pulau Barrang Lompo, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Makassar. Malam itu, suasana pesisir...

Peduli Keselamatan Generasi Muda, Sat Samapta Polres Pelabuhan Makassar Intensifkan Patroli di Depan Sekolah-sekolah

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Sebagai bentuk nyata kepedulian terhadap keselamatan generasi muda, Sat Samapta Polres Pelabuhan Makassar terus mengintensifkan...

221 Lansia di Tomoni Timur Terima Bantuan Dari Pemerintah Daerah Lutim

PEDOMANRAKYAT, LUWU TIMUR - Sebanyak 221 warga lanjut usia (lansia) dari delapan desa di Kecamatan Tomoni Timur menerima...

Korban Penipuan Online Gugat Proses Hukum, Laporkan Jaksa ke Jamwas dan Komjak

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Franky Harlindong resmi mengirim dua surat pengaduan bernomor 01/SP-FK/XI/2025 dan 02/SP-FK/XI/2025, memprotes dugaan ketidaksesuaian prosedur...