PEDOMANRAKYAT, GOWA - Penanganan kasus dugaan pemalsuan kwitansi jual beli tanah yang dilaporkan oleh Mantasia Daeng Taco sejak 8 Desember 2021 di Polres Gowa, dinilai lamban dan tidak transparan. Hingga kini, hampir empat tahun berlalu, perkara tersebut tak kunjung menemukan titik terang dan bahkan diduga “tidur di meja penyidik.”
Laporan polisi dengan nomor LP/B/1355/XII/Res.1.9/2021/SPKT/Polres Gowa/Polda Sulsel itu berkaitan dengan dugaan pemalsuan kwitansi penyerahan uang sebesar Rp 1.000.000,- oleh terlapor Muh. Ramli Daeng Nyala, yang digunakan sebagai dasar penguasaan tanah di Dusun Saranjana, Desa Jenetallasa, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.
Tidak Sah Secara Hukum
Menurut pelapor, dokumen kwitansi yang dijadikan dasar transaksi tersebut tidak sah secara hukum. Dalam kwitansi hanya terdapat cap jempol Halida Daeng Lumu, ibu dari pelapor, tanpa tanda tangan atau persetujuan Mantasia Daeng Taco sebagai ahli waris yang sah.
Selain itu, terdapat perbedaan luas tanah yang signifikan. Dalam kwitansi disebut 8x20 meter (160 m²), sementara menurut SPPT PBB atas nama Halida Daeng Lumu, luas tanah sebenarnya mencapai 260 m².
Hal ini memperkuat dugaan bahwa dokumen tersebut dipalsukan untuk tujuan mengklaim tanah warisan keluarga secara tidak sah.
“Kwitansi itu bukan bukti jual beli tanah yang sah. Ibu saya, Halida Daeng Lumu, sudah meninggal dan tidak pernah menandatangani atau menjual tanah itu. Kami punya bukti PBB dan surat kuasa sah,” tegas Mantasia Daeng Taco.
SP2HP Mei 2025: Alasan Teknis, Proses Terhenti
Dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) bernomor SP2HP.A.2/1308.b/V/2025/Reskrim tertanggal 24 Mei 2025, disebutkan bahwa setelah gelar perkara pada 19 Mei 2025, penyidik menyimpulkan belum cukup bukti untuk melanjutkan ke tahap penyidikan.
Alasan utama penyidik adalah tidak adanya sidik jari pembanding dari almarhumah Halida Daeng Lumu, karena data kependudukan di Dinas Dukcapil Gowa tidak merekam sidik jarinya.
Padahal, pelapor telah menyerahkan tiga dokumen asli yang memuat cap jempol Halida Daeng Lumu — yaitu surat kuasa insidentil (2020), surat somasi ke-2 (2021), dan surat pernyataan (2021) — yang seharusnya bisa digunakan sebagai bahan perbandingan manual.
Kecewa dengan Kinerja Penyidik
Mantasia Daeng Taco menilai lambannya penanganan kasus ini sangat merugikan pihaknya dan tidak mencerminkan asas keadilan. “Sudah empat tahun laporan ini mengendap tanpa hasil. Kami rakyat kecil hanya ingin kebenaran ditegakkan,” ujarnya.
Muhammad Sirul Haq, SH selaku Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Makassar sekaligus kuasa hukum Mantasia Daeng Taco, menyayangkan sikap penyidik yang dinilai tidak profesional dan tidak proaktif.
“Alasan teknis seperti tidak adanya sidik jari pembanding seharusnya tidak menjadi penghalang. Penyidik seharusnya aktif mencari cara agar kebenaran materiil bisa terungkap. Ini sudah jelas ada bukti kwitansi palsu, perbedaan luas tanah, dan ketidaksesuaian tanda tangan,” ungkap Sirul Haq.
Akan Dilaporkan ke Kapolres, Kasiwas, dan Propam Polda Sulsel
Merasa dirugikan, pihak pelapor dan kuasa hukum berencana melaporkan dugaan kelalaian dan lambannya penanganan perkara ini ke Kapolres Gowa, Kasiwas Polres Gowa, Kapolda Sulsel, serta Propam Polda Sulsel.
“Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan melaporkan ke pimpinan dan Propam agar kasus ini diawasi. Keadilan tidak boleh hanya untuk yang punya kuasa,” tegas Sirul Haq.
Seruan Keadilan untuk Rakyat Kecil
Kasus Mantasia Daeng Taco menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat kecil sering kali kesulitan mendapatkan keadilan hukum, terutama ketika berhadapan dengan lambannya penanganan di tingkat penyidik.
"Karenanya, LKBH Makassar menegaskan akan terus mengawal kasus ini sampai ada kepastian hukum dan keadilan ditegakkan," tandas Sirul. (*)

