PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Kebijakan pemerintah pusat yang kembali memperketat larangan impor pakaian bekas kini menyisakan keresahan di lapisan bawah masyarakat, terutama para pedagang kecil di Kota Makassar yang selama ini menggantungkan hidup dari bisnis pakaian “cakar” atau thrifting.
Larangan itu ditegaskan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menyatakan akan menindak tegas importir ilegal, mulai dari denda berat hingga blacklist seumur hidup. Kebijakan ini, menurut pemerintah, bertujuan melindungi industri tekstil nasional, sekaligus mencegah dampak kesehatan dan lingkungan akibat pakaian impor bekas.
Namun bagi pedagang kecil di lapangan, keputusan ini terasa seperti petir di siang bolong.
“Kami Hidupnya Cuma di Cakar”
Di sepanjang kanal di Jln Masjid Raya di areal Pasar Terong, Makassar, deretan lapak pakaian bekas kini mulai sepi. Sejumlah pedagang mengaku sudah tidak berjualan selama berminggu-minggu karena stok barang semakin langka.
“Kami ini kasian, hidupnya cuma di cakar. Semua penghasilanku di sini, buat sekolah anak, bayar kontrakan, semua dari jualan baju bekas,”
ujar seorang pedagang perempuan di Pasar Terong dengan mata berkaca.
Sebelum larangan ini ditegakkan, satu bale pakaian bekas impor bisa didapat dengan modal Rp. 3 juta berisi hingga 500 potong baju, sementara baju baru lokal dengan jumlah serupa bisa mencapai lebih dari Rp. 5 juta. Perbandingan harga inilah yang membuat pakaian bekas impor menjadi primadona bagi pedagang kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Kini, dengan pengawasan yang semakin ketat, banyak pedagang di Makassar yang memilih “libur jualan” karena barang tidak lagi masuk.
Data dari Kantor Bea Cukai Makassar menunjukkan, sepanjang Agustus 2024 hingga Juni 2025, petugas telah memusnahkan lebih dari 870 bale pakaian bekas impor ilegal. Langkah tegas itu membuat arus barang nyaris berhenti.
Bisnis yang Pernah Menopang Ribuan Keluarga
Menurut penelitian dari Universitas Negeri Makassar (UNM), perdagangan pakaian bekas di Makassar — terutama di Pasar Terong dan Pasar Toddopuli — tumbuh pesat selama 2012–2022. Faktor pendorong utamanya adalah harga murah, kualitas yang masih bagus, serta kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Modal kecil, risiko kecil, untung cukup untuk makan. Itu saja sudah cukup bagi kami,” kata Nurdin, pedagang asal Panakkukang yang kini menutup lapaknya sementara.
Sementara di daerah lain seperti Parepare, pedagang cakar mampu meraup untung hingga Rp. 3–5 juta per bulan dengan modal sekitar Rp. 25 juta. Angka itu kini menjadi kenangan setelah stok barang semakin susah ditemukan.

