Meski begitu, aturan tetap berlaku.
“Saya sudah pesan ke anak-anak, tidak boleh main di dalam kelas. Kalau ketahuan, saya sita,” tegas Bu Rini, wali kelas 4 SD Negeri Borong.
Sementara itu, Mas Jamil, pedagang mainan yang sudah 15 tahun berjualan di depan sekolah, mengaku dua hari terakhir kehabisan stok kuartet.
“Lagi tren sekali ini. Sehari bisa habis tiga lusin. Di grosir juga kosong,” katanya, tersenyum.
Harga kuartet pun ikut naik, dari satu set Rp2.000 menjadi dua set Rp5.000. Tapi tetap saja laris. Anak-anak rela menunggu stok datang lagi.
Sore itu, seorang bocah bernama Alwi, murid SD Ranu Harapan yang rumahnya tak jauh dari sekolah, datang hendak membeli. Sayang, stoknya benar-benar habis.
“Habis mi,” ujar Mas Jamil singkat, membuat Alwi menunduk kecewa.
Permainan sederhana dari lembaran kertas bergambar itu kembali mengisi hari-hari anak sekolah dasar. Di tengah gempuran gawai dan internet, kuartet menghadirkan tawa, kebersamaan, dan semangat bermain yang sederhana — tapi hangat. ( ab )

