Kata-katanya membuatku diam lama. Di tengah panas dan hiruk-pikuk CFD, ada seseorang yang hidupnya berputar di antara adonan, cetakan, dan doa. Setiap potongan kue pancong yang ia panggang adalah bukti bahwa perjuangan bisa hadir dalam bentuk apa pun termasuk dari gerobak di pinggir jalan.
Sebelum pergi, aku sempat bertanya satu hal terakhir. “Kalau nanti tidak ada yang meneruskan, bagaimana, Pak?”
Ia berhenti sebentar, lalu berkata, “Kalau bisa, kue ini jangan sampai hilang. Ini kue tradisional. Kalau bisa tambah banyak yang jual, tambah dikenal lagi.”
Suara itu terdengar seperti doa, apalagi zaman di mana makanan viral datang dan pergi secepat notifikasi di ponsel.
Ketika aku memperhatikan sekitar, aku melihat banyak orang seperti dia. Ada yang menjual minuman, pakaian, kebab, gorengan, donat kentang dan lain sebagainya. Semua berdiri di bawah terik matahari. Aku membayangkan, di balik setiap tenda kecil itu ada cerita serupa yaitu tentang bertahan, tentang tidak menyerah, tentang keluarga yang menunggu di rumah.
Matahari sudah mulai naik aku dan temanku mulai bergegas, CFD Boulevard pagi itu seolah menjadi ruang pertemuan antara semangat dan kenyataan. Orang-orang berolahraga untuk menjaga tubuh, sementara orang seperti Pak Nasir bekerja untuk menjaga kehidupan. Dua-duanya sama-sama berjuang, hanya dengan bentuk yang berbeda.
Dari cara ia bekerja, aku bisa menebak bahwa dagangan ini bukan sekadar urusan uang. Tapi tetap saja, aku ingin tahu, bagaimana usaha kecil ini menopang keluarganya, apakah hasilnya benar-benar cukup untuk hidup sehari-hari?. Lagi dan lagi ia hanya tersenyum.
“Alhamdulillah, hasil jualan cukup untuk makan dan kebutuhan pokok,” ujarnya sambil menuang adonan baru. “Kalau bisa, dagangan laku terus. Itu saja harapannya.”
Ia tertawa kecil, tapi dalam matanya ada harapan yang lebih besar dari sekadar dagangan laku. “Mimpi kami,” katanya pelan, “semoga jualan ini membawa berkah, bisa ubah hidup keluarga jadi lebih cukup. Dulu keluarga susah, sekarang kami mau ubah itu.”
Kata-katanya membuatku diam lama. Di tengah panas dan hiruk-pikuk CFD, ada seseorang yang hidupnya berputar di antara adonan, cetakan, dan doa. Setiap potongan kue pancong yang ia panggang adalah bukti bahwa perjuangan bisa hadir dalam bentuk apa pun termasuk dari gerobak di pinggir jalan. Sebelum pergi, aku sempat bertanya satu hal terakhir.
“Kalau nanti tidak ada yang meneruskan, bagaimana, Pak?” Ia berhenti sebentar, lalu berkata, “Kalau bisa, kue ini jangan sampai hilang.
Ini kue tradisional. Kalau bisa tambah banyak yang jual, tambah dikenal lagi.”
Suara itu terdengar seperti doa, apalagi zaman di mana makanan viral datang dan pergi secepat notifikasi di ponsel.
Ketika aku memperhatikan sekitar, aku melihat banyak orang seperti dia. Ada yang menjual minuman, pakaian, kebab, gorengan, donat kentang dan lain sebagainya. Semua berdiri di bawah terik matahari. Aku membayangkan, di balik setiap tenda kecil itu ada cerita serupa yaitu tentang bertahan, tentang tidak menyerah, tentang keluarga yang menunggu di rumah.
Matahari sudah mulai naik aku dan temanku mulai bergegas, CFD Boulevard pagi itu seolah menjadi ruang pertemuan antara semangat dan kenyataan. Orang-orang berolahraga untuk menjaga tubuh, sementara orang seperti Pak Nasir bekerja untuk menjaga kehidupan. Dua-duanya sama-sama berjuang, hanya dengan bentuk yang berbeda. (*).

