Nurenci Ananda Pasaribu
Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP/Magang ‘identitas’
Udara pagi di Boulevard baru saja menghangat ketika jarum jam menunjukkan pukul 07:40. Langit Makassar masih biru muda, tapi jalanan sudah dipenuhi langkah- pengunjung Car Free Day (CFD). Suara musik, senam bercampur dengan aroma makanan yang menyeruak dari tenda-tenda kecil di sepanjang jalan. Orang-orang datang dengan berbagai tujuan. Berlari, berjalan santai, berburu sarapan, atau sekadar mencari udara segar yang tak bisa mereka beli di hari kerja.
Di antara riuh itu, ada asap tipis naik dari cetakan besi berwarna kehitaman. Asapnya wangi, manis, dan sedikit mengingatkan pada masa kecil aroma kelapa parut yang dipanggang pelan di atas bara. Di balik cetakan itu, seorang pria mengenakan kaus polos biru dan topi lusuh tengah menuang adonan kental berwarna putih. Tangan kirinya menahan cetakan. Tangan kanannya bergerak lincah. Seolah sudah hafal setiap takaran tanpa perlu menimbang tiap adonan. Dialah Muhammad Nasir (29 tahun), penjual kue pancong yang setia menempati jalur telaah CFD Boulevard setiap Minggu pagi. Kue pancong yang ia jual bukan sekadar jajanan biasa.
“Ini resep dari nenek. Dari dulu sampai sekarang masih sama, saya jaga biar tidak hilang,” ucapnya pelan sambil terus mengawal hasil adonannya yang sudah ‘tertanam’ di cetakan besi panas.
“Pagi-pagi saya jualan di pasar terong, terus ke Veteran depan BCA. Kalau Minggu baru ke sini,” katanya mengungkap agenda rutin hari yang dijalaninya.
Ia bercerita, kadang berangkat pukul lima, dengan motor dan gerobak kecil. Adonan kue sudah ia siapkan dengan istrinya dari rumah dengan campuran kelapa parut, terigu kompas, dan gula asli tanpa pemanis buatan.
Kue pancong buatannya tampak sederhana, tapi ketika adonan itu mulai dipanggang dan mulai berbentuk padat, aromanya langsung menarik perhatian. Orang-orang berhenti sejenak, melirik, lalu mendekat. Sebagian menunggu sambil melipat tangan di dada, sebagian lain memotret dengan kamera ponsel.
“Saya jualan sejak 2018,” katanya sambil tersenyum kecil ketika aku menyapanya.
“Awalnya dari orang tua, saya cuma teruskan biar nggak hilang. Ini kan kue tradisional, sudah dari nenek, ke orang tua, baru ke saya.” Suaranya tenang, tapi ada kebanggaan halus di ujung kata-katanya. Ia tidak hanya sekadar berjualan makanan tapi ia sedang menjaga warisan.
Cetakan kue pancong yang ia gunakan pun sudah jarang dijual. “Sekarang di toko-toko itu tinggal cetakan kue pukis, kalau yang ini sudah susah sekali dicari,” katanya sambil menunjuk besi tua yang sudah kehitaman tapi tetap kuat.
Aku membeli sepuluh ribu rupiah untuk delapan potong. Gigitan pertama membuatku terdiam sebentar. Teksturnya lembut tapi agak kasar di pinggir, manisnya tidak berlebihan, pas di lidah, ada rasa kelapa yang khas di tiap kunyahan. Legit dalam gigitan, begitu mungkin kata yang paling pas di pikiranku.
Teman-temanku yang datang bersamaku juga mencicipinya. “Enak banget,” kata salah satu dari mereka sambil tersenyum puas. Kami saling pandang, mengangguk, seolah sepakat tanpa perlu berpikir panjang seolah ragu.
Pak Nasir tampak bahagia setiap kali ada pembeli yang tersenyum atau berkata enak. Ia tersenyum, lalu cepat-cepat menyiapkan pesanan berikutnya. Ada kelembutan dalam caranya berinteraksi, tidak tergesa tidak pula terlalu santai, seolah setiap pembeli adalah tamu yang
harus dilayani dengan hati-hati.
“Ini berbeda dengan kue pancong yg lain, ini masih menggunakan resep nenek, biar orang tahu rasanya beda,” tambahnya. Ia tidak memakai pemanis buatan. “Kalau mau dikasih topping, paling susu kental manis atau pasta.
“Alhamdulillah, hasil jualan cukup untuk makan dan kebutuhan pokok,” ujarnya sambil menuang adonan baru. “Kalau bisa, dagangan laku terus. Itu saja harapannya.”
Ia tertawa kecil, tapi dalam matanya ada harapan yang lebih besar dari sekadar dagangan laku. “Mimpi kami,” katanya pelan, “semoga jualan ini membawa berkah, bisa ubah hidup keluarga jadi lebih cukup. Dulu keluarga susah, sekarang kami mau ubah itu.”
Kata-katanya membuatku diam lama. Di tengah panas dan hiruk-pikuk CFD, ada seseorang yang hidupnya berputar di antara adonan, cetakan, dan doa. Setiap potongan kue pancong yang ia panggang adalah bukti bahwa perjuangan bisa hadir dalam bentuk apa pun termasuk dari gerobak di pinggir jalan.
Sebelum pergi, aku sempat bertanya satu hal terakhir. “Kalau nanti tidak ada yang meneruskan, bagaimana, Pak?”
Ia berhenti sebentar, lalu berkata, “Kalau bisa, kue ini jangan sampai hilang. Ini kue tradisional. Kalau bisa tambah banyak yang jual, tambah dikenal lagi.”
Suara itu terdengar seperti doa, apalagi zaman di mana makanan viral datang dan pergi secepat notifikasi di ponsel.
Ketika aku memperhatikan sekitar, aku melihat banyak orang seperti dia. Ada yang menjual minuman, pakaian, kebab, gorengan, donat kentang dan lain sebagainya. Semua berdiri di bawah terik matahari. Aku membayangkan, di balik setiap tenda kecil itu ada cerita serupa yaitu tentang bertahan, tentang tidak menyerah, tentang keluarga yang menunggu di rumah.
Matahari sudah mulai naik aku dan temanku mulai bergegas, CFD Boulevard pagi itu seolah menjadi ruang pertemuan antara semangat dan kenyataan. Orang-orang berolahraga untuk menjaga tubuh, sementara orang seperti Pak Nasir bekerja untuk menjaga kehidupan. Dua-duanya sama-sama berjuang, hanya dengan bentuk yang berbeda.
Dari cara ia bekerja, aku bisa menebak bahwa dagangan ini bukan sekadar urusan uang. Tapi tetap saja, aku ingin tahu, bagaimana usaha kecil ini menopang keluarganya, apakah hasilnya benar-benar cukup untuk hidup sehari-hari?. Lagi dan lagi ia hanya tersenyum.
“Alhamdulillah, hasil jualan cukup untuk makan dan kebutuhan pokok,” ujarnya sambil menuang adonan baru. “Kalau bisa, dagangan laku terus. Itu saja harapannya.”
Ia tertawa kecil, tapi dalam matanya ada harapan yang lebih besar dari sekadar dagangan laku. “Mimpi kami,” katanya pelan, “semoga jualan ini membawa berkah, bisa ubah hidup keluarga jadi lebih cukup. Dulu keluarga susah, sekarang kami mau ubah itu.”
Kata-katanya membuatku diam lama. Di tengah panas dan hiruk-pikuk CFD, ada seseorang yang hidupnya berputar di antara adonan, cetakan, dan doa. Setiap potongan kue pancong yang ia panggang adalah bukti bahwa perjuangan bisa hadir dalam bentuk apa pun termasuk dari gerobak di pinggir jalan. Sebelum pergi, aku sempat bertanya satu hal terakhir.
“Kalau nanti tidak ada yang meneruskan, bagaimana, Pak?” Ia berhenti sebentar, lalu berkata, “Kalau bisa, kue ini jangan sampai hilang.
Ini kue tradisional. Kalau bisa tambah banyak yang jual, tambah dikenal lagi.”
Suara itu terdengar seperti doa, apalagi zaman di mana makanan viral datang dan pergi secepat notifikasi di ponsel.
Ketika aku memperhatikan sekitar, aku melihat banyak orang seperti dia. Ada yang menjual minuman, pakaian, kebab, gorengan, donat kentang dan lain sebagainya. Semua berdiri di bawah terik matahari. Aku membayangkan, di balik setiap tenda kecil itu ada cerita serupa yaitu tentang bertahan, tentang tidak menyerah, tentang keluarga yang menunggu di rumah.
Matahari sudah mulai naik aku dan temanku mulai bergegas, CFD Boulevard pagi itu seolah menjadi ruang pertemuan antara semangat dan kenyataan. Orang-orang berolahraga untuk menjaga tubuh, sementara orang seperti Pak Nasir bekerja untuk menjaga kehidupan. Dua-duanya sama-sama berjuang, hanya dengan bentuk yang berbeda. (*).

