PEDOMANRAKYAT, BULUKUMBA - Pada pertemuan kali ini, ruang virtual Sore Bercerita kembali dibuka seperti halnya sebuah galeri yang menerima kedatangan pengunjungnya. Pukul 17.00 hingga 18.10 WITA, pengajian seni DKV bersama Dr. Sumbo Tinarbuko berlangsung sebagai sebuah ritual pengetahuan yang terawat, menghadirkan tema story telling sebagai medium penting dalam desain komunikasi visual.
Dr. Sumbo, yang menapaki perjalanan akademiknya sejak era 80-an di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tampil bukan sekadar sebagai narasumber. Tapi, sebagai penjaga arsip pengalaman panjang desain visual Indonesia. Karya-karyanya, termasuk buku tentang Semiotika DKV, menjadi semacam katalog pemikiran yang memperlihatkan bagaimana ia merawat seni sebagai nadi kehidupan. Baginya, seni tidak hanya memberi warna, tetapi membuka kemungkinan bagi manusia untuk memahami rupa-rupa kehidupan itu sendiri.
Seperti seorang kurator yang menempatkan karya pada konteksnya, Dr. Sumbo membuka sesi dengan pemahaman mendasar: bahwa story telling bukan sekadar teknik, melainkan modal komunikasi yang membentuk identitas visual seorang desainer. “Seorang komunikasi visual harus belajar story telling agar karya yang diciptakan lebih efektif dan berdampak,” ujarnya, menyuguhkan gagasan itu seperti sebuah karya yang ditempatkan pada sudut paling strategis dalam pameran.
Ia juga menegaskan bahwa story telling tidak dimonopoli desain. Narasi adalah hak semua manusia. Setiap orang yang ingin membangun makna dalam ruang sosialnya perlu memahami cara bercerita—baik secara verbal maupun visual. “Era sekarang adalah bercerita, bukan memerintah,” ungkapnya, seakan menandai pergeseran paradigma estetika komunikasi masa kini.
Pada bagian lain, Dr. Sumbo menambahkan satu prinsip yang menggema: “Desain yang baik adalah desain yang tidak tampak sebagai desain. Story telling yang baik tidak tampak sebagai story telling.” Pernyataan ini mengingatkan pada gagasan tentang semiotika pada pertemuan #3 bulan lalu tentang kehadiran yang subtil—bahwa karya yang matang justru menunjukkan dirinya tanpa perlu menonjolkan proses penciptaannya.
Ruang virtual Sore Bercerita kembali mengambil peran sebagai ruang alternatif pengetahuan. Sebuah ruang yang tidak dibatasi tembok institusi akademik; justru menjadi perpanjangan dari gagasan bahwa pengetahuan adalah milik semua orang. Seperti halnya metafora dalam DKV yang menurut Dr. Sumbo “adalah bentuk paling penting dalam mengamati, memperhalus, dan menyederhanakan pesan,” kegiatan ini menjadi cara kolektif untuk terus mengasah kepekaan visual dan naratif.
Menutup pertemuan, Sakkir menyampaikan harapan agar pengajian seni ini bukan hanya menjadi sarana personal branding, tetapi juga knowledge branding—upaya merawat akal agar tidak terjebak pada imitasi atau akal karbitan. Sebuah penutup yang terasa seperti tanda yang yak memiliki titik: singkat, namun menegaskan arah perjalanan pemikiran.
Sore Bercerita #5 pun berakhir, meninggalkan jejak narasi yang tak hanya dibagikan, tetapi juga divisualisasikan dalam media dan nantinya bakal dirampungkan dalam format zine untuk disebarluaskan.
( Musakkir Basri )

