Dengan latar belakang pendidikan dari SD Inpres No.43 Kajuara, SMPN 2 Pangkep, hingga Paket C, Sudirman membawa insting jurnalistiknya ke dunia hukum. Ia melihat setiap klien sebagai sumber cerita hidup, bukan sekadar kasus hukum yang kaku. Inilah yang membedakannya dari banyak paralegal lainnya.
Sebagai ayah tujuh anak, dua di antaranya telah tiada. Sudirman paham betul beratnya beban masyarakat kecil ketika berhadapan dengan kuasa hukum yang kuat dan berbiaya mahal. Ia hadir memberi jawaban atas pertanyaan lama: ke mana orang kecil harus mencari keadilan ketika mereka tidak memiliki apa pun selain harapan?
Ketika ditanya alasan memilih LBH-BSN, Sudirman menjelaskan bahwa “Bintang Sembilan” bukan sekadar nama, melainkan simbol sembilan pilar keadilan: keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, keberanian, integritas, kepedulian, transparansi, akuntabilitas, dan harmoni. Pilar-pilar ini menjadi kompas moral dalam setiap langkah pembelaannya.
Baginya, LBH-BSN lebih dari sekadar institusi. Ia adalah gerakan yang menghadirkan cahaya di tengah ketidakadilan. “Setiap kali kita mengembalikan hak seseorang atau memberi mereka pemahaman hukum, satu bintang kembali bersinar di langit Nusantara,” ujarnya. Di sinilah ia belajar bahwa pendampingan hukum juga berarti pendampingan jiwa.
Kini, Sudirman bukan lagi sekadar roda kecil dalam sistem besar. Ia menjadi mata, telinga, dan bahkan detak jantung perjuangan masyarakat kecil yang mencari keadilan. Kisah hidupnya membuktikan bahwa keberanian, empati, dan kerja keras mampu mengubah profesi menjadi pengabdian, serta pengabdian menjadi inspirasi bagi banyak orang. (Din Pattisahusiwa)

