PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Dulu, tangan Sudirman N. tak pernah lepas dari pena dan alat perekam suara. Ia aktif menulis narasi-narasi kritis dan membangun di sejumlah media seperti Harian Momentum, Orbit, Majalah Hamba, hingga Tabloid BACA. Dunia jurnalistik menjadi rumah pertama tempat ia mengasah kepekaan dan keberpihakannya pada masyarakat kecil.
Namun perjalanan hidupnya tidak berhenti pada profesi wartawan. Sudirman pernah menjadi pengemudi taksi, bahkan meraih predikat Supir Teladan pada tahun 2006 dan dipercaya memimpin Asosiasi Pengemudi Taxi (APTL). Dari kursi kemudi, ia belajar kesabaran, ketegangan kota, dan keragaman kisah manusia.
Pria kelahiran Pangkep, 31 Desember 1970 itu juga pernah menjadi sopir ambulans dan aktif dalam Serikat Buruh. Belasan profesi ia jalani bukan sekadar pekerjaan, tetapi ruang pengabdian. Kini, ia mengabdi sebagai staf amil di Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Makassar, lembaga yang mempertemukannya dengan banyak kisah kemanusiaan.
Di tengah kesibukannya sebagai amil, Sudirman tetap menjaga dahaga intelektualnya. Pada 2016–2020, ia menempuh pendidikan di STAI DDI Makassar dan berhasil meraih gelar Sarjana Hukum. Gelar tersebut menjadi jembatan yang mengantarkannya pada misi baru: memperjuangkan keadilan secara langsung melalui jalur hukum.
Saat ditemui di ruang kerjanya, Senin pagi 17 November 2025, Sudirman tampak tersenyum di tengah tumpukan berkas dan secangkir kopi hangat. Di balik kemejanya tersemat atribut Lembaga Bantuan Hukum Bintang Sembilan Nusantara (LBH-BSN), menandai bahwa ia baru saja menerima SK keanggotaan bernomor 121/SK.LBH-BSN/IX/2025.
Ia menegaskan bahwa peralihan dari wartawan ke paralegal bukanlah perpindahan profesi, melainkan evolusi perjuangan. “Pengalaman di BAZNAS mengajarkan saya empati yang mendalam. Karena itu saya tetap di sini,” tuturnya. Sikap ini menunjukkan bahwa baginya, profesi apa pun yang ia pegang harus berakar pada nilai kemanusiaan.
Dengan latar belakang pendidikan dari SD Inpres No.43 Kajuara, SMPN 2 Pangkep, hingga Paket C, Sudirman membawa insting jurnalistiknya ke dunia hukum. Ia melihat setiap klien sebagai sumber cerita hidup, bukan sekadar kasus hukum yang kaku. Inilah yang membedakannya dari banyak paralegal lainnya.
Sebagai ayah tujuh anak, dua di antaranya telah tiada. Sudirman paham betul beratnya beban masyarakat kecil ketika berhadapan dengan kuasa hukum yang kuat dan berbiaya mahal. Ia hadir memberi jawaban atas pertanyaan lama: ke mana orang kecil harus mencari keadilan ketika mereka tidak memiliki apa pun selain harapan?
Ketika ditanya alasan memilih LBH-BSN, Sudirman menjelaskan bahwa “Bintang Sembilan” bukan sekadar nama, melainkan simbol sembilan pilar keadilan: keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, keberanian, integritas, kepedulian, transparansi, akuntabilitas, dan harmoni. Pilar-pilar ini menjadi kompas moral dalam setiap langkah pembelaannya.
Baginya, LBH-BSN lebih dari sekadar institusi. Ia adalah gerakan yang menghadirkan cahaya di tengah ketidakadilan. “Setiap kali kita mengembalikan hak seseorang atau memberi mereka pemahaman hukum, satu bintang kembali bersinar di langit Nusantara,” ujarnya. Di sinilah ia belajar bahwa pendampingan hukum juga berarti pendampingan jiwa.
Kini, Sudirman bukan lagi sekadar roda kecil dalam sistem besar. Ia menjadi mata, telinga, dan bahkan detak jantung perjuangan masyarakat kecil yang mencari keadilan. Kisah hidupnya membuktikan bahwa keberanian, empati, dan kerja keras mampu mengubah profesi menjadi pengabdian, serta pengabdian menjadi inspirasi bagi banyak orang. (Din Pattisahusiwa)

