PEDOMAN RAKYAT - JAKARTA. Di usia 78 tahun, Hermawan Kartajaya kembali merayakan pertambahan usia bukan hanya sebagai perayaan pribadi, tetapi sebagai ruang kebersamaan yang menghidupkan nilai-nilai yang ia cintai: kebinekaan, persaudaraan, dan Indonesia. Perayaan yang berlangsung di Philip Kotler Theater Class, MarkPlus Main Campus, Tower 88, Jakarta, Selasa (18/11/2025), dipenuhi wajah-wajah yang datang bukan sekadar sebagai undangan — tetapi sebagai sahabat perjalanan.
Ketua Harian I PSMTI Pusat, Martinus Johnnie Sugiarto, hadir mewakili Ketua Umum PSMTI, Wilianto Tanta, untuk memberikan penghormatan khusus kepada sosok yang telah lama menjadi inspirasi bagi banyak kalangan, baik di dunia pemasaran maupun dalam upaya merawat keharmonisan antarbudaya di Indonesia.
Acara bertema “Chinese-Indonesian for Nusantara” ini diramaikan oleh sejumlah tokoh lintas profesi dan bidang — menandakan betapa luasnya cakrawala pengaruh Hermawan. Hadir antara lain:
Irene Umar Li, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif RI
Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, Pakar Sejarah Politik, Sosial, dan Budaya Universitas Padjadjaran
Tjhai Cui Mie, Wali Kota Singkawang sekaligus Dewan Kehormatan PSMTI
Dedy Rochimat, Founder & CEO Vivere Group sekaligus Dewan Kehormatan
Setyono Djuandi Darmono, Chairman Jababeka Group sekaligus Dewan Penyantun
Tenggono C. Phoa, WKU Dept. Bisnis dan Industri PSMTI Pusat
Aswen S. Utomo, WKU Dept. Hubungan Internasional PSMTI Pusat
Rudi Rusdiah, WKU Dept. Perlindungan Data, AI, dan Siber
serta banyak tokoh masyarakat dan sahabat Hermawan lainnya.
Suasana acara terasa hangat sejak awal. Ketika Hermawan menyampaikan sambutannya, ruangan seolah dipenuhi keheningan yang penuh makna. “Keberagaman dan persatuan merupakan tolak ukur Indonesia yang besar, karena perbedaan yang ada mampu menyatu,” ujarnya. Kalimat yang sederhana, namun menjadi cerminan perjalanan hidupnya — seorang Indonesia Tionghoa yang memilih menjembatani, bukan memisahkan.
Dalam kesempatan itu, Martinus Johnnie membacakan sambutan dari Ketua Umum PSMTI, Wilianto Tanta, yang menekankan nilai-nilai keteladanan Hermawan.
“Di usia ke-78 ini, kita tidak hanya merayakan perjalanan hidup beliau, tetapi juga nilai-nilai yang beliau bawa: kerja keras, integritas, pantang menyerah, serta kecintaan kepada Indonesia. Ketokohan beliau adalah bukti bahwa kontribusi warga Tionghoa Indonesia bukanlah kontribusi di ‘pinggir panggung’, melainkan berdiri tegak di tengah gelanggang pembangunan nasional.’”
Johnnie kemudian menutup dengan ucapan penuh penghormatan, “Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kesehatan, panjang umur, dan hikmat kepada Bapak Hermawan Kartajaya dalam berkarya dan menginspirasi.”
Namun yang membuat perayaan ini terasa semakin mendalam adalah hadirnya pemaparan dari Prof. Dr. Nina Herlina Lubis mengenai Buku Sejarah Orang Tionghoa di Nusantara. Dengan gaya bercerita yang lembut namun tajam, ia menguraikan perjalanan panjang masyarakat Tionghoa yang telah berabad-abad menjadi bagian dari denyut sosial, budaya, dan ekonomi Nusantara. Buku tersebut bukan sekadar catatan sejarah, tetapi cara mengingatkan bahwa kontribusi Tionghoa Indonesia adalah bagian inheren dari wajah bangsa.
Para undangan tampak terhanyut — sebagian mengangguk, sebagian lainnya mencatat — seolah mereka sedang membaca ulang jati diri Indonesia yang kaya dan berlapis.
Di akhir acara, tak ada sorak-sorai berlebihan. Yang tersisa justru hangatnya pertemuan, percakapan kecil yang menggambarkan harapan. Bahwa di usia 78, Hermawan Kartajaya tidak hanya merayakan hidupnya sendiri, tetapi juga merayakan Indonesia yang terus ia cintai dan suarakan.
Pada hari itu, ulang tahun menjadi lebih dari sekadar angka; ia menjadi sebuah pesan tentang pentingnya merawat sejarah, merayakan keberagaman, dan membangun Nusantara bersama. ( ab )

