PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Pagi di UPT SPF SDN Kompleks Mangkura Makassar, Selasa, 25/11/2025 iagi terasa berbeda. Udara masih lembap, namun halaman sekolah telah dipenuhi warna—bukan warna cat dinding, melainkan warna-warni pakaian adat yang dikenakan para murid untuk merayakan Hari Guru Nasional.
Anak-anak datang dengan langkah kecil yang penuh semangat. Ada yang mengenakan baju bodo merah menyala, ada yang memakai kebaya halus yang dipasangkan rapi oleh ibunya, ada pula yang memakai pakaian adat dari daerah nenek moyang mereka yang jauh dari Makassar. Beberapa menenteng bunga kertas yang dibuat semalam, sebagian lagi menggenggam erat ucapan yang tulisan tangannya masih miring-miring.
Namun, yang paling menyentuh bukanlah pakaian adat itu—melainkan cara mereka memandang guru-gurunya pagi itu. Tatapan yang rindu untuk menyampaikan terima kasih yang mungkin tak sanggup mereka ucapkan setiap hari.
“Guru itu seperti ibu kedua untuk kami… tapi kadang kami malu bilang sayang,” bisik seorang murid kelas 4, sambil memegang tangan gurunya yang mulai bergetar karena menahan haru.
Acara sederhana digelar di tengah lapangan. Tidak ada panggung mewah. Tidak ada dekorasi besar. Hanya terpal sederhana, pengeras suara yang sesekali mendengung, dan ratusan hati yang pagi itu dipenuhi rasa syukur.
Seorang murid membacakan puisi. Suaranya pelan, namun menusuk. “Jika dunia ini gelap, guru adalah orang yang menyalakan lilin pertama.” Lapangan tiba-tiba sunyi. Beberapa guru menunduk. Ada yang mengusap sudut mata diam-diam, agar tidak terlihat murid-murid.
Di barisan guru, ada yang menangis tersenyum—karena mereka tahu, di balik kenakalan, kelupaan PR, dan suara-suara gaduh di kelas, anak-anak itu menyimpan cinta yang tulus. Cinta yang hanya muncul pada hari-hari tertentu seperti ini.
Wakil Walikota Makassar, Aliyah Mustika Ilham dan Kepala sekolah berdiri di depan. Apel pagi tanpa sambutan. Peringatan Hari Guru Nasional Kota Makassar tahun ini dipusatkan di SDN. Kompleks Mangkura, Selasa, 25/12/2025.
“Anak-anak mungkin datang dengan berbagai pakaian adat hari ini. Tapi sesungguhnya, mereka datang membawa sesuatu yang jauh lebih berharga: rasa hormat dan kasih yang membuat profesi ini bertahan.”
Guru-guru saling menatap. Mereka tahu betul, menjadi guru bukan hanya soal mengajar membaca dan menghitung. Ada hari-hari ketika mereka harus menjadi penyemangat, pelindung, tempat curhat, bahkan rumah sementara bagi murid yang tengah kehilangan pegangan.
Dan hari itu, semua perjuangan mereka seperti dilipat kembali dalam satu bingkai kebahagiaan.
Di akhir acara, murid-murid berlarian menuju guru-guru mereka sambil memberi bingkisan dan mengucapkan : “Selamat Hari Guru, Bu… Pak…”
Beberapa guru memeluk muridnya erat—pelukan hangat yang tak membutuhkan kata apa pun. Pelukan yang mengingatkan mereka mengapa mereka memilih jalan panjang bernama pendidikan.
Hari Guru di Makassar tahun ini menjadi lebih dari sekadar peringatan. Ia menjelma menjadi momen pengakuan, bahwa hubungan guru dan murid bukan hanya tentang ilmu… tetapi tentang kasih, tentang kehadiran, tentang upaya diam-diam yang sering tak terlihat.
Dan ketika seluruh murid dan guru berkumpul untuk berfoto bersama, pakaian adat yang beraneka rupa itu seolah menjadi simbol: bahwa dari beragam asal, mereka dipersatukan oleh satu hal—cinta pada pendidikan dan mereka yang mengabdikan hidup untuk mengajar. ( Ardhy M Basir )


