Sang ibu, Bu Wanti—guru sekaligus pendamping setia Kirana—tak bisa menyembunyikan kebanggaannya.
“Kirana menikmati prosesnya. Dia selalu ingin tampil profesional, meski masih anak-anak,” ujarnya. Ia tahu persis bagaimana proses seleksi model untuk pagelaran ini tidak mudah. Standarnya tinggi: kemampuan catwalk, karakter wajah, postur, hingga kesanggupan mengikuti serangkaian fitting. Kirana melewati semuanya dengan sikap dewasa yang tidak dibuat-buat.
Di balik harmoni busana dan panggung, ada peran para dosen UNM yang membimbing Nisa hingga karyanya matang—Dra Kurniati, M.Si, Nurhijrah S.Pd, M.Pd, Andi Ahlia Fachriani, S.Pd, M.Pd, dan Andi Nuralfiah, S.Pd, M.Pd. Mereka ikut merayakan keberhasilan malam itu, melihat bagaimana karya mahasiswa mereka berpadu dengan talenta seorang gadis kecil.
Ketika pagelaran usai dan lampu panggung meredup, Kirana turun dengan napas lega. Di balik senyumnya, ada mimpi-mimpi yang masih disimpannya rapi. Ia masih 12 tahun, tetapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang lebih besar: keyakinan bahwa setiap langkah kecil di panggung adalah bagian dari perjalanannya untuk menjadi perempuan Sulawesi Selatan yang membawa budaya, kreativitas, dan keberanian ke pentas yang lebih luas.
Dan malam itu, di Fort Rotterdam, langkah kecil itu telah dimulai. ( ardhy m basir )

