PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Di bawah langit senja Fort Rotterdam, Kamis 27 November 2025, sorot lampu panggung memantulkan kelembutan warna terakota dari busana seorang gadis kecil. Tubuhnya mungil, tetapi caranya melangkah membuat banyak pasang mata terpaku. Dialah Kirana Sahira Yuswan, siswi kelas 6 SD Kompleks Sambung Jawa, yang malam itu memukau audiens Pagelaran Busana “Mahakarya Batik Nusantara” hasil kolaborasi dengan Festival Museum La Galigo.
Kirana tampil dalam balutan gaun bernuansa aksara Lontaraq dengan ornamen lokal Sulawesi Selatan. Setiap detail busana seperti menyimpan cerita—dan Kirana memainkannya dengan percaya diri, seakan catwalk adalah ruang bermain yang sudah lama ia kuasai. Di antara deretan mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum, ia berjalan tanpa ragu. Sorak kecil terdengar dari beberapa sudut panggung saat ia menatap lurus ke depan, bibirnya tersenyum tipis.
Bagi anak pasangan Yusmin Apriandi dan Hus Irmawati Usba itu, panggung bukan tempat asing. Tahun 2025 saja, ia menyimpan deretan prestasi: Pemenang Pertama Puteri Anak Indonesia Sulawesi Selatan 2025, Top 15 Puteri Anak Indonesia, hingga Puteri Anak The Best Presentation 2025 di Jakarta. Gelar-gelar itu menjadi bukti bahwa Kirana bukan sekadar model cilik—ia adalah anak yang bekerja keras, disiplin, dan mau belajar.
Pada pagelaran ini, Kirana memperagakan karya desainer muda Mukrimah Annisa, mahasiswa Jurusan PKK Tata Busana UNM angkatan 2022. Karya Nisa bertajuk “The Sacred Balla Tujua on Lompobattang’s Slope”—tema yang tidak mudah untuk diwujudkan oleh model seumuran Kirana. Namun sore itu, gaun ber-detail rumit itu seperti menyatu dengan tubuhnya. Selendang panjang yang menjuntai dari leher hingga lantai, misalnya, justru menjadi elemen dramatis yang bisa ia kendalikan dengan ritme matang.
“Yang paling menonjol dari Kirana adalah kemampuannya mengendalikan detail busana. Dia tahu angle, tahu tempo, dan tahu kapan membuat sebuah aksen terlihat hidup di panggung,” ungkap Nisa, desainer asal Bantaeng yang kini bermukim di Makassar. Baginya, impian desain yang ia bayangkan selama berbulan-bulan akhirnya menemukan bentuk ideal pada langkah kecil Kirana.
Sang ibu, Bu Wanti—guru sekaligus pendamping setia Kirana—tak bisa menyembunyikan kebanggaannya.
“Kirana menikmati prosesnya. Dia selalu ingin tampil profesional, meski masih anak-anak,” ujarnya. Ia tahu persis bagaimana proses seleksi model untuk pagelaran ini tidak mudah. Standarnya tinggi: kemampuan catwalk, karakter wajah, postur, hingga kesanggupan mengikuti serangkaian fitting. Kirana melewati semuanya dengan sikap dewasa yang tidak dibuat-buat.
Di balik harmoni busana dan panggung, ada peran para dosen UNM yang membimbing Nisa hingga karyanya matang—Dra Kurniati, M.Si, Nurhijrah S.Pd, M.Pd, Andi Ahlia Fachriani, S.Pd, M.Pd, dan Andi Nuralfiah, S.Pd, M.Pd. Mereka ikut merayakan keberhasilan malam itu, melihat bagaimana karya mahasiswa mereka berpadu dengan talenta seorang gadis kecil.
Ketika pagelaran usai dan lampu panggung meredup, Kirana turun dengan napas lega. Di balik senyumnya, ada mimpi-mimpi yang masih disimpannya rapi. Ia masih 12 tahun, tetapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang lebih besar: keyakinan bahwa setiap langkah kecil di panggung adalah bagian dari perjalanannya untuk menjadi perempuan Sulawesi Selatan yang membawa budaya, kreativitas, dan keberanian ke pentas yang lebih luas.
Dan malam itu, di Fort Rotterdam, langkah kecil itu telah dimulai. ( ardhy m basir )

