“Kegiatan ini bukan seremoni semata, tetapi pengingat bagi kita semua bahwa inklusivitas adalah kerja bersama, lintas sektor,” ujarnya.
Todd Dias sendiri tampak terkesan saat anak-anak dari KOAS—komunitas orang tua dengan anak down syndrome—menari di pembukaan acara. Tarian medley itu sederhana, namun penuh makna. Di sisi panggung, para orang tua tak henti memberi kode dan semangat. Di wajah mereka terpancar rasa haru dan bangga: anak-anak mereka tampil percaya diri di ruang publik.
Sementara itu, Pemkot Makassar melalui Kadis Sosial Andi Bukti Djufrie menegaskan komitmen terhadap isu disabilitas. Ia menyebut visi MULIA—Makassar Unggul, Inklusif, Aman, dan Berkelanjutan—sebagai fondasi kebijakan.
Sejumlah program telah dijalankan: bantuan mesin jahit bagi kelompok disabilitas, hingga peluang bekerja di lingkungan Pemkot. Namun ia juga secara terbuka mengakui bahwa kawasan Pantai Losari, termasuk Makassar Creative Hub, belum sepenuhnya ramah difabel.
“Soal aksesibilitas di Pantai Losari, nanti kami sampaikan langsung ke Wali Kota Makassar,” janjinya.
Dalam kesempatan itu, Yayasan BaKTI menyerahkan buku “Setara, Berdaya, dan Inklusif” kepada Konjen Australia dan perwakilan Wali Kota. Buku tersebut berisi cerita perubahan dan pembelajaran tentang praktik-praktik inklusi di berbagai daerah.
Setelah seremoni, acara berlanjut pada Talkshow Inspirasi BaKTI bertema “Menelaah Keterhubungan Kekerasan terhadap Perempuan dengan Perubahan Iklim dalam Perspektif Inklusi Sosial.”
Tiga pembicara hadir: Nisriah Nurul Magfirah Nasir (GERKATIN Makassar), Ni Nyoman Anna (FORMASI Disabilitas Sulsel), dan Drs. Idrus, M.Si (Kadis PMD Maros). Diskusi dipandu Rusdin Tompo, pegiat literasi dan Koordinator SATUPENA Sulsel.
Beragam capaian program dipaparkan. Namun satu kesimpulan mengemuka: inklusi bukan tujuan yang bisa diraih sekali jadi. Ia adalah proses panjang yang menuntut keterlibatan semua pihak.
Hari itu, di Makassar Creative Hub, pesan tentang kesetaraan tidak hanya disampaikan lewat pidato dan diskusi. Ia juga hadir dalam rupa tangga besi yang curam—pengingat bahwa perjuangan menuju masyarakat yang benar-benar inklusif masih harus terus diperjuangkan, setapak demi setapak. (ab)

