Surat panjang dari alam ini seharusnya membuat kita menambahkan tiga bab penting dalam kesadaran kolektif:
Pertama, bahwa tata ruang bukan sekadar dokumen di rak pemerintah, tetapi peta moral tentang bagaimana sebuah kota menghormati alamnya.
Kedua, bahwa reforestasi bukan pilihan, melainkan kewajiban; tanpa akar yang memeluk tanah, sungai akan mencari jalannya sendiri.
Ketiga, bahwa setiap bencana adalah pengingat bahwa kita hidup bersama dalam satu ekosistem, kelalaian satu pihak bisa menjadi duka semua pihak.
Sumatera boleh jadi akan pulih, seperti luka yang perlahan menutup. Tetapi apakah kita akan belajar? Itu pertanyaan yang harus dijawab bukan oleh pemerintah saja, tetapi oleh setiap warga, setiap keluarga, setiap keputusan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Karena bencana besar selalu lahir dari akumulasi kelalaian kecil yang kita biarkan.
Ketika alam menulis surat panjang, tugas kita bukan hanya membacanya—tetapi membalasnya dengan tindakan. Dengan hutan; yang kembali hijau, sungai yang dibiarkan lebar, bukit yang dijaga akar, dan tata ruang yang tidak dikhianati oleh keserakahan.
Sebab jika surat ini tak diindahkan, barangkali alam akan menulis yang lebih keras, lebih pahit, dan lebih dalam. Dan saat itu tiba, kata “maaf” mungkin tidak lagi cukup. (*)

