Oleh Muliadi Saleh (Esais Reflektif dan Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL)
Suara alam yang lantang itu datang di penghujung 2025. Sumatera—pulau Suwarnadwipa karena kekayaan emas dan sumber daya alamnya—terendam oleh banjir dan teriris oleh longsor. Seakan-akan bumi mengirim kita sepucuk surat yang tak ditulis dengan tinta, melainkan dengan lumpur, air bah, dan jeritan warga yang kehilangan rumah, kebun, bahkan harapan.
Bait pertamanya adalah hujan yang turun lebih padat dari cerita-cerita lama tentang musim basah. Hujan itu mengguyur hutan yang telah hilang, membasahi tanah yang kehilangan cengkeraman akar, dan membebani bukit yang rapuh seperti ingatan kita tentang pentingnya merawat bumi. Seperti air mata yang tak tertampung, ia mengalir mencari tempat paling rendah—dan sayangnya, tempat terendah itu adalah kampung-kampung yang dibangun tanpa tata ruang yang jelas, di lembah yang diabaikan, di bantaran sungai yang semakin dipersempit manusia.
Bencana itu bukan sekadar peristiwa alam; ia adalah kronik panjang keterlambatan kita membaca tanda-tanda. Para ahli lingkungan telah mengeja huruf-huruf peringatan sejak lama: deforestasi yang membabi buta, izin tambang yang meranggas bukit-bukit, pembangunan yang mengabaikan kontur tanah, dan alih fungsi lahan yang menyingkirkan rawa dan hutan mangrove. Semua itu bukan hanya statistik—melainkan sejarah kelalaian yang menunggu saatnya menagih.
Dan kini tagihan itu datang. Warga berlari menyelamatkan diri sementara luapan sungai menggulung badan jalan seperti gulungan permadani basah. Sawah berubah menjadi danau keruh. Longsor merobek bukit, menghadiahkan duka kepada keluarga yang tak sempat menutup pintu. Di media sosial, kita melihat potongan gambar: seorang ibu menggendong anaknya menyeberangi banjir; seorang bapak berdiri memandangi rumah yang tinggal rangka; sekelompok remaja memindahkan buku-buku sekolah agar tidak larut dalam air. Potongan kecil dari kisah besar tentang ketahanan manusia yang diuji oleh keputusan buruk manusia lainnya.
Bencana 2025 ini adalah cermin—dan cermin tak pernah berbohong. Ia memantulkan betapa rapuhnya sistem tata ruang kita, betapa lamban kita memperbaiki sungai yang tersumbat, betapa sering kita hanya berisik setelah air meninggi. Ia juga memantulkan kegagalan kolektif: dari pembuat kebijakan yang lebih cepat mengeluarkan izin dibanding evaluasi, hingga masyarakat yang masih menebang tanpa menanam, membuang tanpa memilah, membangun tanpa menghitung risiko.
Namun dalam setiap gelap, ada suluh kecil yang bertahan. Kita melihat relawan muda menyisir desa-desa, membagi makanan, menenangkan anak-anak yang kehilangan sekolah. Kita mendengar cerita tentang warga yang bergotong-royong memperbaiki akses jalan, membersihkan sungai, dan mengantar logistik dengan perahu sederhana. Kejadian ini mengingatkan bahwa kemanusiaan kita tidak hilang—yang hilang adalah kesungguhan kita merawat ekologi tempat kemanusiaan itu tumbuh.
Surat panjang dari alam ini seharusnya membuat kita menambahkan tiga bab penting dalam kesadaran kolektif:
Pertama, bahwa tata ruang bukan sekadar dokumen di rak pemerintah, tetapi peta moral tentang bagaimana sebuah kota menghormati alamnya.
Kedua, bahwa reforestasi bukan pilihan, melainkan kewajiban; tanpa akar yang memeluk tanah, sungai akan mencari jalannya sendiri.
Ketiga, bahwa setiap bencana adalah pengingat bahwa kita hidup bersama dalam satu ekosistem, kelalaian satu pihak bisa menjadi duka semua pihak.
Sumatera boleh jadi akan pulih, seperti luka yang perlahan menutup. Tetapi apakah kita akan belajar? Itu pertanyaan yang harus dijawab bukan oleh pemerintah saja, tetapi oleh setiap warga, setiap keluarga, setiap keputusan kecil dalam kehidupan sehari-hari. Karena bencana besar selalu lahir dari akumulasi kelalaian kecil yang kita biarkan.
Ketika alam menulis surat panjang, tugas kita bukan hanya membacanya—tetapi membalasnya dengan tindakan. Dengan hutan; yang kembali hijau, sungai yang dibiarkan lebar, bukit yang dijaga akar, dan tata ruang yang tidak dikhianati oleh keserakahan.
Sebab jika surat ini tak diindahkan, barangkali alam akan menulis yang lebih keras, lebih pahit, dan lebih dalam. Dan saat itu tiba, kata “maaf” mungkin tidak lagi cukup. (*)

