PEDOMANRAKYAT, YOGYAKARTA - Pagi belum sepenuhnya hangat ketika satu per satu peserta melangkah masuk ke halaman Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu (6/12/2025). Di wajah mereka, tersimpan gugup, harap, juga doa yang tak terucap. Hari itu bukan hari biasa—3.891 calon advokat dari seluruh Indonesia sedang mempertaruhkan satu fase penting hidupnya dalam Ujian Profesi Advokat (UPA) Gelombang II Tahun 2025.
Di UGM saja, 143 peserta duduk berjajar di ruang-ruang ujian. Latar belakang mereka berbeda—ada yang baru lulus, ada pula yang telah lama menekuni dunia hukum—namun tujuan mereka sama: menjadi advokat.
Sejak pagi hingga siang, suasana ujian berlangsung sunyi dan tertib. Hanya bunyi kertas, gesekan pena, dan sesekali helaan napas panjang yang terdengar. Di balik lembar jawaban itu, bukan hanya soal-soal hukum yang mereka hadapi, tetapi juga masa depan profesi, idealisme, dan tanggung jawab moral yang besar.
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, mengingatkan bahwa ujian ini bukan sekadar tahapan administratif.
“Ini bukan hanya tentang lulus atau tidak. Ini adalah pintu masuk ke profesi yang mengemban kehormatan, integritas, dan etika tinggi. Kepercayaan masyarakat kepada PERADI sangat besar, terbukti dari 3.891 peserta yang mengikuti UPA hari ini,” ujarnya.
Menurut Harris, UPA merupakan amanat langsung dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Karena itu, peserta diuji bukan hanya pada kecakapan teknis, tetapi juga pada pemahaman mendasar tentang profesi yang akan mereka sandang.
“Mulai dari definisi dan tugas advokat, syarat menjadi advokat, sumpah profesi, organisasi, kode etik, sampai sanksi pidana, semuanya diatur di undang-undang itu. Yang lulus harus betul-betul memahami apa arti menjadi advokat,” tuturnya.
Tak hanya soal undang-undang, para peserta juga berhadapan dengan berbagai materi berat: Hukum Acara Perdata, Pidana, Peradilan Agama, Hubungan Industrial, Peradilan Tata Usaha Negara, hingga esai Hukum Acara Perdata yang menguji logika, ketelitian, dan nalar keadilan.
Di balik ketegasan sistem seleksi ini, PERADI juga terus membangun jalur pendidikan profesi yang kokoh. Ketua Umum DPN PERADI, Prof. Dr. Otto Hasibuan, SH, MM, telah membentuk Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI) yang menaungi PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat).
“PKPA bertanggung jawab atas pendidikan khusus calon advokat sekaligus pendidikan hukum berkelanjutan bagi advokat yang sudah berpraktik. Ini ikhtiar kami menjaga kualitas profesi dari hulu ke hilir,” kata Harris.
Menjelang siang, satu per satu peserta mulai meninggalkan ruang ujian. Wajah-wajah tegang perlahan berubah menjadi lega, meski masih dibalut tanda tanya tentang hasil. Ada yang tersenyum kecil, ada yang termenung, ada pula yang langsung mengirim kabar pada keluarga.
Di hari itu, UPA bukan sekadar ujian tertulis. Ia menjadi perlintasan mimpi ribuan orang yang ingin berdiri di garis depan penegakan keadilan. Dari ruang-ruang hening di Fakultas Hukum UGM dan ratusan lokasi lainnya di seluruh Indonesia, lahirlah harapan baru bagi masa depan profesi advokat. (ab)

