PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Di lorong-lorong Pasar Butung, Makassar, para pedagang tak pernah benar-benar lepas dari kecemasan. Selama bertahun-tahun, mereka hidup dalam ketidakpastian—membayar iuran pada pihak yang mereka sendiri tak yakin memiliki legalitas penuh, berpindah-pindah lapak, dan menunggu janji perubahan yang tak kunjung tiba.
Namun awal pekan ini, angin baru berembus. Pemerintah Kota Makassar akhirnya melihat titik terang untuk mengambil alih kembali pengelolaan Pasar Butung, pasar grosir yang menjadi denyut ekonomi ribuan keluarga di Kota Daeng.
Langkah itu menguat saat Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, duduk satu meja dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Didik Farkhan Alisyahdi, di Kantor Kejati Sulsel, Selasa (9/12/2025). Pertemuan itu bukan sekadar pertemuan formal—melainkan pembahasan serius mengenai simpul-simpul hukum yang selama ini melilit pasar legendaris tersebut.
Munafri, yang hadir bersama jajaran kunci Pemkot seperti Inspektorat, BPKD, Dinas Pertanahan, hingga Direksi Perumda Pasar Makassar Raya, memulai dengan nada jujur.
Ia mengakui bahwa pengambilalihan Pasar Butung adalah perjalanan panjang yang tidak mungkin ditempuh sendiri.
“Kami sangat berterima kasih atas dukungan Kejati. Mudah-mudahan dengan kolaborasi ini, kami tidak lagi berjalan sendiri dalam mengembalikan aset Pasar Butung,” ujarnya.
Akar Masalah: Data Pedagang yang Tak Pernah Jelas
Munafri menyebut persoalan terbesar Pasar Butung tidak sekadar aset, tetapi ketidakjelasan data pedagang. Selama ini, pemerintah kota bahkan tidak memiliki gambaran pasti siapa pemilik lapak, siapa yang memungut biaya, dan siapa yang memberi izin penggunaan area tertentu.
“Kami harus melindungi pedagang. Jangan sampai mereka sudah membayar, tapi justru tidak dapat berjualan,” tegasnya.
Pemkot kini menyiapkan tim gabungan bersama Kejari Makassar untuk memastikan proses pengambilalihan berjalan sesuai aturan—tanpa mengorbankan pedagang yang menggantungkan hidup di sana.
Kejati: Saatnya Menuntaskan, Saatnya Mengamankan Aset Negara
Dari sisi Kejaksaan, suara Didik Farkhan terdengar tegas. Ia menegaskan bahwa perkara hukum terkait Pasar Butung telah inkrah sejak 2023. Kejati kini menelusuri aset terpidana untuk mengeksekusi uang pengganti sekitar Rp26 miliar.
Namun satu hal yang paling dikhawatirkan Kejati justru berada di lapangan:
penguasaan fisik pasar yang masih dikelola pihak lain walau perjanjiannya telah dibatalkan.
“Kami sudah sepakat, masalah Pasar Butung harus segera diakhiri dengan tuntas. Ini soal aset Pemerintah Kota dan kepastian hukum,” tegas Didik.
Kejati bahkan menyiapkan langkah penyitaan untuk mengamankan aset agar tidak kembali berpindah tangan.
Perumda Pasar: Pernah Menguasai, Lalu Terhenti
Direktur Utama Perumda Pasar Makassar Raya, Ali Gauli Arif, mengungkap fakta menarik:
Perumda sebenarnya pernah menguasai Pasar Butung selama satu bulan pada 2023. Namun, intervensi politik dan dinamika internal koperasi membuat penguasaan itu batal.
Ia menjelaskan bahwa koperasi pengelola selama ini menafsirkan putusan Mahkamah Agung secara sepihak, lalu memakai dasar itu untuk tetap bertahan.
“Proses di Pasar Butung ini tidak berdiri sendiri. Ada dinamika yang membuat pengambilalihan sebelumnya gagal,” kata Ali.
Kini, dengan pendampingan dari Kejati, ia yakin langkah hukum Perumda akan lebih terarah.
Masalah Aset yang Lebih Luas dari Pasar Butung
Dalam pertemuan itu, Munafri juga menyinggung persoalan yang lebih luas:
banyak aset Pemkot Makassar tercatat tetapi tidak terdaftar, sehingga rawan dipindahtangankan. Bahkan, beberapa kantor lurah dan sekolah dasar pernah “hilang” dalam proses yang tak jelas.
Karena itu, pengambilalihan Pasar Butung bukan hanya soal satu pasar—tetapi bagian dari upaya lebih besar untuk mengembalikan aset negara kepada negara.
Dukungan Pedagang dan Janji Kampanye yang Diingat Warga
Bagi pedagang Pasar Butung, langkah ini adalah harapan lama yang kembali tumbuh. Saat kampanye 2024, Munafri pernah menjanjikan revitalisasi pasar sebagai pusat grosir terbesar di Makassar. Pedagang kala itu menyambut hangat, karena mereka ingin kejelasan, bukan sekadar janji.
Kini, setelah putusan hukum final dan dukungan Kejati yang lebih komprehensif, kesempatan itu terbuka lebar.
Ali Gauli bahkan ditutup dengan seruan lantang dari tim Kejati:
“Posisinya sudah jelas. Langsung ambil kembali. Hitung dari awal pengelolaannya.”
Kesimpulan: Momentum yang Tak Boleh Gagal Lagi
Perkara Pasar Butung sudah inkrah, eksekusi pidana telah dijalankan, dan pendampingan hukum kini semakin solid. Satu-satunya bagian yang tersisa adalah keberanian langkah eksekutif untuk mengambil kembali hak pemerintah dan hak ribuan pedagang yang selama ini hanya ingin kepastian.
Jika momentum ini kembali hilang, maka risiko penguasaan ilegal dan potensi tindak pidana korupsi dapat terus berulang.
Namun untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, garis ujung masalah tampak semakin dekat.
Dan bagi para pedagang di Pasar Butung, mungkin ini adalah kesempatan langka untuk benar-benar mendapatkan pasar yang dikelola pemerintah secara legal, adil, dan transparan—sebelum tahun 2026 tiba. ( ab )

