Menariknya, diskusi juga mengungkap fakta bahwa gelar “Andi” yang kini dikenal luas justru merupakan pemberian Belanda. Bahkan hingga 1906, Kerajaan Gowa masih menggunakan gelar Daeng. Sejarah, sekali lagi, mengajarkan bahwa identitas tak pernah beku—ia bergerak mengikuti zaman.
Ketua DPRD Makassar, Anwar Faruq, S.Kom, dalam sambutan pembukaannya mengaku bangga bisa hadir. “Aura kebesaran Sulawesi Selatan terasa di ruangan ini,” ucapnya. Ia menyinggung bahwa banyak arsip sejarah Makassar dan Bone justru tersimpan di luar negeri. Pemerintah daerah, katanya, berkomitmen mendukung upaya menggali kembali sejarah kota.
Ia menanggapi permintaan Prof. Mardi agar bahasa dan aksara lontara dibudayakan kembali. Anwar Faruq menyatakan siap menjembatani ke Wali Kota Makassar, bahkan membuka peluang penggunaan bahasa lontara di sekolah dasar dan menengah. “Bandara pun seharusnya bertuliskan lontara, agar kita tahu sedang berada di mana,” kata Prof. Mardi—sebuah kalimat sederhana, namun menghunjam.
Sementara itu, Rahman Rumaday, Founder Komunitas Anak Pelangi (K-apel) dan Kampus Lorong K-apel, menyebut diskusi ini sebagai bagian dari agenda panjang merawat ingatan kolektif, meski pelaksanaannya baru bisa terlaksana di bulan Desember.
” Bagusnya buku yang diterjemahkan oleh Prof. Mardy, terkoneksi dengan beberapa buku seperti Buku Arupalakka ,” ujar Dahlan Abubakar, penulis buku dan wartawan Pedoman Rakyat.co.id.
Diskusi dipandu Arwan D Awing, Direktur Bugis Pos Grup, yang menyebut buku ini sebagai karya pertama yang secara khusus membahas sejarah Makassar dari sudut pandang penulis asing abad ke-17.
Ada catatan singkat yang disampaikan moderator sebelum menutup diskusi, yakni perlu pelestarian bahasa daerah ,” siapa itu Daeng Mangalle ” , Makassar kembali ke kota dunia dan ” jangan tinggalkan kami Pak Dewan ”
Di akhir acara, tak ada tepuk tangan yang berlebihan. Yang tersisa justru keheningan singkat—sejenis jeda batin—seolah setiap orang sedang berbincang dengan masa lalu masing-masing.
Lewat buku ini, Makassar seperti bercermin: melihat dirinya sebagai kerajaan besar, pelabuhan dunia, dan ruang pertemuan peradaban. Sejarah yang lama tersimpan di Prancis, akhirnya pulang—dalam bahasa yang bisa dipahami oleh anak-anaknya sendiri. (Ardhy M Basir)

