Daeng Rurung disebut sebagai anak yang lebih dewasa ketika meninggalkan tanah Sulawesi. Dalam berbagai cerita lisan, ia digambarkan memiliki kecerdasan dan keteguhan watak. Di Eropa, ia hidup di tengah budaya yang sama sekali asing: bahasa yang tak ia pilih, adat yang tak ia kenal, dan identitas yang perlahan dinegosiasikan.
Ia bukan lagi sepenuhnya bangsawan Gowa, tetapi juga tak pernah menjadi orang Eropa. Hidupnya berada di antara dua dunia—menjadi simbol keterasingan yang dialami banyak anak jajahan.
Daeng Ta Lolo: Anak Kecil yang Kehilangan Kampung Halaman
Berbeda dengan saudaranya, Daeng Ta Lolo diyakini masih sangat muda saat dibawa ke luar negeri. Nama “Ta Lolo” sendiri dalam tradisi Bugis-Makassar merujuk pada anak kecil—sebuah penanda usia sekaligus kepolosan.
Ia tumbuh besar jauh dari bahasa ibu, tanpa melihat laut Makassar, tanpa mendengar kisah kepahlawanan kakeknya dari mulut orang-orang Gowa. Dalam sunyi sejarah, Daeng Ta Lolo menjadi lambang paling getir dari kolonialisme: seorang anak yang tumbuh tanpa akar.
Sejarah yang Perlu Dipeluk Kembali
Diskusi di Warkop Om Ben itu tak melahirkan kesimpulan final. Namun justru di situlah letak keindahannya. Sejarah, seperti kata mereka, bukan sekadar tanggal dan nama. Ia adalah kisah manusia—tentang kehilangan, perpisahan, dan daya tahan.
“Kalau kita tidak membicarakan Daeng Mangalle dan anak-anaknya hari ini,” ujar Arwan D Awing, salah satu dari mereka di sela diskusi, “maka mereka akan benar-benar hilang untuk kedua kalinya.”
Di antara denting sendok dan sisa kopi di dasar cangkir, Daeng Mangalle seolah kembali hidup. Bukan sebagai patung atau nama jalan, tetapi sebagai seorang ayah. Dan Daeng Rurung serta Daeng Ta Lolo hadir bukan sebagai catatan kaki sejarah, melainkan sebagai anak-anak yang pernah kehilangan rumahnya.
Di sudut kota Makassar itu, sejarah memang tak berteriak. Ia berbicara pelan—asal kita mau mendengarkan. ( Ardhy M Basir / berbagai sumber )

