PEDOMAN RAKYAT, MAKASSAR - Di sebuah sudut kota Makassar, bukan di ruang seminar atau gedung megah berpendingin udara, sejarah justru kembali dipanggil ke hadapan kita. Aroma kopi hitam mengepul pelan di Warkop Om Ben, menemani percakapan tiga lelaki yang percaya bahwa sejarah tak boleh hanya tinggal di buku.
Ardhy M. Basir, wartawan Pedoman Rakyat.co.id, Arwan D. Awing, Direktur Bugis Pos Grup, dan Rahman Rumaday, Founder K-apel, duduk berhadapan. Tak ada podium. Tak ada moderator resmi. Hanya meja kayu, cangkir kopi, dan satu pertanyaan besar yang menjadi tajuk diskusi mereka: “Siapa itu Daeng Mangalle?”
Diskusi yang kemudian diberi judul “Bicara Sejarah, Sejarah Berbicara” ini bukan sekadar mengenang masa lalu. Ia adalah upaya menyelamatkan ingatan kolektif orang Makassar—tentang sosok yang namanya kerap disebut, namun kisahnya jarang dipahami secara utuh.
Daeng Mangalle, Anak Sultan Hasanuddin
Daeng Mangalle dikenal dalam berbagai catatan sebagai salah satu putra Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16 yang dijuluki Belanda sebagai De Haantjes van het Oosten—Ayam Jantan dari Timur. Jika Sultan Hasanuddin adalah simbol perlawanan terbuka terhadap VOC, maka Daeng Mangalle justru mewakili babak sejarah yang lebih sunyi, lebih getir, dan lebih manusiawi.
Pasca kekalahan Gowa dan Perjanjian Bungaya, banyak keluarga bangsawan hidup dalam pengawasan ketat kolonial. Daeng Mangalle berada dalam pusaran itu. Ia bukan hanya seorang pangeran, tetapi juga ayah—yang harus menghadapi kenyataan pahit: anak-anaknya terpisah dari tanah leluhur.
Anak-Anak yang Menyeberangi Samudra
Dalam diskusi di Warkop Om Ben, percakapan menghangat ketika menyentuh dua nama yang jarang dibicarakan dalam buku sejarah arus utama: Daeng Rurung dan Daeng Ta Lolo, dua putra Daeng Mangalle yang disebut-sebut dibawa ke Prancis.
Sejarah mencatat, pada abad ke-17 dan awal abad ke-18, praktik membawa anak bangsawan dari wilayah jajahan ke Eropa bukan hal asing. Mereka dijadikan sandera politik, alat diplomasi, atau “bukti kemenangan” kolonial. Dalam konteks itu, Daeng Rurung dan Daeng Ta Lolo diduga dibawa ke Eropa—melalui jalur kolonial Belanda—dan kemudian berada di Prancis.
Daeng Rurung: Identitas yang Dinegosiasikan
Daeng Rurung disebut sebagai anak yang lebih dewasa ketika meninggalkan tanah Sulawesi. Dalam berbagai cerita lisan, ia digambarkan memiliki kecerdasan dan keteguhan watak. Di Eropa, ia hidup di tengah budaya yang sama sekali asing: bahasa yang tak ia pilih, adat yang tak ia kenal, dan identitas yang perlahan dinegosiasikan.
Ia bukan lagi sepenuhnya bangsawan Gowa, tetapi juga tak pernah menjadi orang Eropa. Hidupnya berada di antara dua dunia—menjadi simbol keterasingan yang dialami banyak anak jajahan.
Daeng Ta Lolo: Anak Kecil yang Kehilangan Kampung Halaman
Berbeda dengan saudaranya, Daeng Ta Lolo diyakini masih sangat muda saat dibawa ke luar negeri. Nama “Ta Lolo” sendiri dalam tradisi Bugis-Makassar merujuk pada anak kecil—sebuah penanda usia sekaligus kepolosan.
Ia tumbuh besar jauh dari bahasa ibu, tanpa melihat laut Makassar, tanpa mendengar kisah kepahlawanan kakeknya dari mulut orang-orang Gowa. Dalam sunyi sejarah, Daeng Ta Lolo menjadi lambang paling getir dari kolonialisme: seorang anak yang tumbuh tanpa akar.
Sejarah yang Perlu Dipeluk Kembali
Diskusi di Warkop Om Ben itu tak melahirkan kesimpulan final. Namun justru di situlah letak keindahannya. Sejarah, seperti kata mereka, bukan sekadar tanggal dan nama. Ia adalah kisah manusia—tentang kehilangan, perpisahan, dan daya tahan.
“Kalau kita tidak membicarakan Daeng Mangalle dan anak-anaknya hari ini,” ujar Arwan D Awing, salah satu dari mereka di sela diskusi, “maka mereka akan benar-benar hilang untuk kedua kalinya.”
Di antara denting sendok dan sisa kopi di dasar cangkir, Daeng Mangalle seolah kembali hidup. Bukan sebagai patung atau nama jalan, tetapi sebagai seorang ayah. Dan Daeng Rurung serta Daeng Ta Lolo hadir bukan sebagai catatan kaki sejarah, melainkan sebagai anak-anak yang pernah kehilangan rumahnya.
Di sudut kota Makassar itu, sejarah memang tak berteriak. Ia berbicara pelan—asal kita mau mendengarkan. ( Ardhy M Basir / berbagai sumber )

