Terkait perkara Tongkonan Ka’pun, Medi Batara menjelaskan bahwa pasca putusan inkrah, PN Makale telah memberikan waktu selama lima bulan kepada pihak penggugat dan tergugat untuk bernegosiasi mencari solusi terbaik. Bahkan, Bupati Tana Toraja sejak 17 Agustus turut mempertemukan kedua belah pihak dengan berbagai opsi penyelesaian, namun tidak membuahkan kesepakatan hingga akhirnya eksekusi tetap dilakukan.
Pasca eksekusi, lanjut Medi, muncul berbagai tudingan negatif di media sosial yang menyalahkan pengadilan, bahkan menuduh telah merusak adat dan budaya Toraja.
“Ayo kita bangun budaya hukum. Idealnya, semua persoalan bisa diselesaikan terlebih dahulu di lembaga adat. Kalau bisa selesai di sana, tidak perlu sampai ke pengadilan karena proses hukum membutuhkan pengorbanan besar, baik materil maupun immateril. Orang berperkara itu sejatinya mencari keadilan,” tegasnya.
Medi Batara juga mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2025, tercatat sekitar 300 perkara perdata yang masuk ke PN Tana Toraja. Dari jumlah tersebut, sekitar 200 perkara merupakan kasus perceraian.
“Jadi, perkara di Toraja bukan hanya soal rumah tongkonan, tetapi juga rumah tangga,” pungkasnya.
Ia berharap ke depan lembaga adat dapat berperan lebih optimal, bersikap netral, dan tidak berpihak, sehingga hasil musyawarah dapat diterima oleh semua pihak yang bersengketa.(ab/pri).

