PEDOMANRAKYAT, TANA TORAJA.- Kombongan Masyarakat Toraja yang digelar selama tiga hari, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tana Toraja, Medi Batara Randa, SH, dalam kombongan itu ia menegaskan bahwa dua persoalan besar yang kerap dihadapi masyarakat Toraja adalah perkara rumah tongkonan dan rumah tangga. Hal tersebut disampaikannya dalam kegiatan Ma’kombongan Toraya yang digelar di Gedung Tammuan Mali, Makale, Selasa (16/12/2025).
Menurut Medi Batara, penyelesaian perkara hukum berbeda dengan pertandingan olahraga yang bisa berakhir imbang. Dalam perkara perdata maupun pidana, putusan pengadilan selalu bermuara pada menang atau kalah.
“Saya sudah tiga kali menjabat sebagai Ketua Pengadilan di daerah berbeda. Menghadapi eksekusi dalam kondisi sesulit apa pun sudah menjadi hal biasa, bahkan ancaman pun kerap terjadi,” ungkapnya.
Salah satu perkara besar yang disorot adalah eksekusi Tongkonan Ka’pun di Kecamatan Kurra yang dilaksanakan pada Jumat (5/12/2025). Perkara tersebut, kata Medi, telah bergulir sejak tahun 1998 sebelum akhirnya dieksekusi.
Ia menambahkan, proses penyelesaian perkara di pengadilan umumnya memakan waktu panjang. Bahkan, terdapat kasus sengketa tanah berukuran 4×4 meter yang proses hukumnya berlangsung hingga 10 tahun.
“Secara aturan, perkara yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah harus dieksekusi dalam waktu delapan hari. Namun, sebelum eksekusi dilakukan, pengadilan tetap memanggil kedua belah pihak, terutama pihak yang kalah, untuk mencari solusi damai. Ironisnya, sering kali pihak yang kalah justru merasa menang,” ujarnya.
Terkait perkara Tongkonan Ka’pun, Medi Batara menjelaskan bahwa pasca putusan inkrah, PN Makale telah memberikan waktu selama lima bulan kepada pihak penggugat dan tergugat untuk bernegosiasi mencari solusi terbaik. Bahkan, Bupati Tana Toraja sejak 17 Agustus turut mempertemukan kedua belah pihak dengan berbagai opsi penyelesaian, namun tidak membuahkan kesepakatan hingga akhirnya eksekusi tetap dilakukan.
Pasca eksekusi, lanjut Medi, muncul berbagai tudingan negatif di media sosial yang menyalahkan pengadilan, bahkan menuduh telah merusak adat dan budaya Toraja.
“Ayo kita bangun budaya hukum. Idealnya, semua persoalan bisa diselesaikan terlebih dahulu di lembaga adat. Kalau bisa selesai di sana, tidak perlu sampai ke pengadilan karena proses hukum membutuhkan pengorbanan besar, baik materil maupun immateril. Orang berperkara itu sejatinya mencari keadilan,” tegasnya.
Medi Batara juga mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2025, tercatat sekitar 300 perkara perdata yang masuk ke PN Tana Toraja. Dari jumlah tersebut, sekitar 200 perkara merupakan kasus perceraian.
“Jadi, perkara di Toraja bukan hanya soal rumah tongkonan, tetapi juga rumah tangga,” pungkasnya.
Ia berharap ke depan lembaga adat dapat berperan lebih optimal, bersikap netral, dan tidak berpihak, sehingga hasil musyawarah dapat diterima oleh semua pihak yang bersengketa.(ab/pri).

