Bagi anak, kehadiran ayah di hari pembagian rapor adalah bahasa cinta yang paling sunyi, namun paling mengena. Tanpa pidato, tanpa nasihat panjang, ayah sedang berkata : “Aku peduli. Aku hadir. Prestasimu adalah perhatianku.” Pesan itu sering kali tinggal lebih lama di ingatan anak dibanding angka di kolom nilai.
Para guru pun merasakan getarannya. Percakapan menjadi lebih hidup. Sudut pandang bertambah. Tanggung jawab pendidikan tidak lagi bertumpu pada satu bahu. Sekolah merasa ditemani, bukan sendirian.
Lebih dari sekadar urusan akademik, gerakan ini menyentuh jantung ketahanan keluarga. Anak yang tumbuh dengan kehadiran kedua orang tua cenderung lebih kuat secara emosional. Ia tahu, di belakangnya ada dua pasang mata yang mengawasi dengan cinta, bukan tuntutan semata.
Bagi seorang ayah, mengambil rapor mungkin hanya menyita waktu sebentar. Namun bagi anak, momen itu bisa menjelma kenangan panjang
tentang hari ketika ayah duduk di kursi sekolahnya, membaca hasil belajarnya, dan diam-diam menumbuhkan rasa percaya diri.
“Gerakan Ayah Ambil Rapor” mengajarkan satu hal penting bahwa perubahan besar tidak selalu lahir dari langkah gegap gempita. Ia bisa tumbuh dari gerakan kecil, dari keberanian melawan kebiasaan lama, dari keputusan sederhana untuk hadir.
Sebab pendidikan anak bukan semata tentang nilai di atas kertas. Ia adalah tentang kebersamaan, keteladanan, dan kehadiran.
Dan ketika ayah hadir, pendidikan menemukan wajahnya yang lebih utuh.

