Beban hukum Prof. Jamaluddin Jompa kian bertambah dengan adanya kasus kematian Virendy Marjefy Wehantouw, mahasiswa Arsitektur, yang terjadi pada pertengahan Januari 2023 silam.
Lantaran dianggap tidak menunjukkan tanggung jawab moral, orang tua mendiang akhirnya melaporkan Rektor Unhas beserta 10 orang lainnya ke Polda Sulsel dengan nomor laporan LP/B/873/X/2024/SPKT/Polda Sulsel tertanggal 1 Oktober 2024.
Laporan tersebut menyeret dugaan pelanggaran Pasal 359 dan atau Pasal 170 KUHP terkait kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang atau tindakan kekerasan secara bersama-sama.
Sayangnya, penanganan kasus ini terkesan jalan di tempat selama lebih dari satu tahun di tangan penyidik Ditreskrimum Polda Sulsel. Tim Hukum keluarga korban yang dikomandoi Muhammad Sirul Haq, SH, C.NSP, C.CL beranggotakan Muhammad Amran Hamdy, SH, MM, Mulyarman D, SH dan Andi Mahardika, SH, mempertanyakan integritas kepolisian yang seolah-olah ingin memetieskan perkara yang menyeret nama orang nomor satu di Unhas tersebut.
Muhammad Sirul Haq menyatakan pada Minggu (21/12/2025) bahwa pihaknya akan segera mengirimkan surat kepada Kapolda Sulsel serta mengadu ke Kapolri guna menanyakan alasan dibalik lambatnya proses penyidikan ini.
“Kami mempertanyakan keberanian penyidik Ditreskrimum Polda Sulsel dalam menuntaskan kasus yang melibatkan Rektor Unhas. SP2HP terakhir hanya keluar pada Juli 2025, dan setelah itu tidak ada progres nyata hingga sekarang,” tegas Sirul dengan nada menyindir.
Dalam dokumen SP2HP tertanggal 29 Juli 2025 yang diteken Wadir Reskrimum Polda Sulsel AKBP Amri Yudhy S, disebutkan bahwa kepolisian telah berkoordinasi dengan Polres Maros serta memeriksa saksi dari Unhas. Rencana selanjutnya adalah gelar perkara, namun hal itu tak kunjung terealisasi.
Hingga akhir Desember 2025, pihak keluarga mengaku tidak lagi menerima kabar terbaru. Padahal, berdasarkan regulasi kepolisian, prosedur pemberian informasi perkembangan kasus (SP2HP) telah diatur secara mendetail sebagai berikut:
Mekanisme Transparansi Penyidikan (SP2HP):
Laporan & SP2HP Awal (A1): Maksimal 3 hari setelah laporan, penyidik wajib memberikan data awal mengenai petugas yang menangani kasus.
Informasi Rutin: Pemberitahuan perkembangan wajib diberikan minimal sekali sebulan untuk akuntabilitas, dengan jadwal yang disesuaikan pada tingkat kesulitan kasus (ringan, sedang, hingga sulit).
Kategori Format: Terdiri dari kode A1 (penelitian awal) hingga A5 (pemberitahuan penghentian kasus jika tidak cukup bukti).
Komponen Isi: Mencakup rincian perkara, langkah yang sudah diambil, hambatan di lapangan, serta agenda penyidikan berikutnya.
Hak Konstitusional Pelapor: Pelapor berhak memantau, bertanya langsung kepada penyidik, atau mengadu ke Propam jika hak mendapatkan informasi ini diabaikan.
Legalitas Dokumen: Setiap SP2HP harus divalidasi dengan tanda tangan penyidik dan dilaporkan kepada atasan sebagai tembusan resmi. (*)

