PEDOMANRAKYAT, HALMAHERA BARAT – Mangkraknya pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama yang dipindahkan dari Kecamatan Loloda ke Kecamatan Ibu Kabupaten Halmahera Barat, menempatkan persoalan ini tidak lagi semata pada ranah kebijakan publik.
Ia telah memasuki wilayah hukum administrasi negara dan berpotensi menyentuh hukum pidana. Dalam negara hukum, setiap kebijakan yang menggunakan anggaran publik tunduk pada prinsip legalitas dan akuntabilitas, bukan sekadar pertimbangan politis atau teknis.
Dari sudut pandang hukum administrasi negara, proyek RS Pratama merupakan keputusan dan tindakan pemerintahan (bestuursdaad) yang harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB): kepastian hukum, kecermatan, keterbukaan, akuntabilitas, dan larangan penyalahgunaan wewenang.
Ketika proyek tersebut mangkrak tanpa kejelasan, yang dipindahkan tanpa penjelasan terbuka mengenai status anggaran dan aset negara, patut dipertanyakan apakah asas-asas tersebut telah dijalankan.
Pemindahan proyek tidak serta-merta menghapus kewajiban hukum atas kegagalan sebelumnya. Pemerintah daerah wajib menjelaskan dasar hukum pemindahan, hasil evaluasi teknis, serta mekanisme penyelamatan aset yang telah dibangun. Tanpa itu, kebijakan tersebut berpotensi dikategorikan sebagai tindakan administrasi yang cacat prosedur dan substansi, yang secara hukum dapat diuji dan dipertanggungjawabkan.
Lebih jauh, kegagalan proyek yang menelan anggaran negara juga membuka ruang penilaian hukum pidana, khususnya jika ditemukan unsur kelalaian berat, pelanggaran kontrak yang disengaja, atau penyalahgunaan kewenangan. Dalam hukum pidana, kerugian negara tidak harus selalu dibuktikan melalui niat jahat (mens rea) yang eksplisit; kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan hilangnya manfaat publik pun dapat menjadi objek penegakan hukum.

