Di titik inilah peran aparat penegak hukum menjadi tidak terelakkan. Penegakan hukum bukanlah kriminalisasi kebijakan, melainkan instrumen konstitusional untuk memastikan bahwa kebijakan publik dijalankan dalam koridor hukum. Aparat pengawasan internal, Badan Pemeriksa Keuangan, hingga kejaksaan dan kepolisian memiliki mandat untuk menelusuri apakah kegagalan RS Pratama Loloda murni persoalan teknis atau merupakan akibat dari kelalaian struktural yang melanggar hukum.
Pemisahan antara kesalahan administrasi dan tindak pidana memang penting. Namun, pembiaran terhadap proyek mangkrak tanpa audit dan pertanggungjawaban justru berisiko mengaburkan batas tersebut. Dalam praktik, banyak perkara korupsi bermula dari pembiaran administratif yang dianggap sepele, lalu berkembang menjadi kerugian negara yang nyata.
Dari perspektif etika kebijakan publik, hukum administrasi dan hukum pidana seharusnya dipahami sebagai satu kesatuan sistem pengendalian kekuasaan. Kebijakan yang gagal tanpa evaluasi dan sanksi akan melahirkan preseden buruk: bahwa proyek publik dapat ditinggalkan tanpa konsekuensi. Preseden semacam ini merusak keadilan, melemahkan kepercayaan publik, dan menormalisasi ketidakbertanggungjawaban.
Masyarakat Loloda bukan hanya kehilangan fasilitas kesehatan, tetapi juga berhak atas kepastian hukum. Negara tidak boleh membiarkan hak tersebut tergerus oleh kebijakan yang tidak dituntaskan secara hukum. Penegakan hukum dalam kasus ini bukan untuk mencari siapa yang harus dihukum semata, melainkan untuk memastikan bahwa kekuasaan dijalankan secara sah, beretika, dan berpihak pada kepentingan umum.
Kasus RS Pratama Loloda semestinya menjadi pengingat bahwa dalam negara hukum, setiap kebijakan publik memiliki konsekuensi hukum. Ketika etika kebijakan diabaikan, hukum harus hadir. Bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai penopang terakhir keadilan dan akuntabilitas pemerintahan. (*)

