PEDOMANRAKYAT, JAKARTA — Sinyal peringatan dini datang dari lingkar relawan pendukung pemerintah. Ketua Umum Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP), Willem Frans Ansanay, secara terbuka mendorong Presiden Prabowo Subianto membentuk koalisi permanen, menyusul menguatnya indikasi rivalitas kepentingan politik yang berpotensi mengganggu soliditas kabinet di tahun kedua pemerintahan.
Pernyataan tersebut disampaikan Frans kepada wartawan di Jakarta, Selasa (23/12/2025), di tengah meningkatnya intensitas manuver politik antarpartai pendukung pemerintah yang mulai terbaca di ruang publik dan parlemen.
Ini bukan soal politik praktis. Ini soal stabilitas pemerintahan. Kalau kabinet tidak dikunci dalam satu garis komando yang tegas, rivalitas internal sangat mungkin muncul dan itu berbahaya bagi efektivitas negara, kata Frans dengan nada serius.
Tahun Kedua Pemerintahan: Fase Rawan dalam Sejarah Politik Presidensial
Frans menilai, secara historis, tahun kedua pemerintahan dalam sistem presidensial multipartai kerap menjadi fase rawan. Partai-partai pendukung mulai menghitung ulang posisi, daya tawar, bahkan jarak politik terhadap Presiden.
Dalam banyak pengalaman politik, justru di fase inilah tarik-menarik kepentingan mulai terasa. Tanpa koalisi permanen, kabinet bisa berubah menjadi arena kompetisi antarpartai, bukan mesin kerja Presiden, ujarnya.
Menurutnya, tanpa desain politik yang jelas, kebijakan strategis berpotensi terhambat oleh negosiasi terselubung dan kepentingan sektoral yang tidak selalu sejalan dengan agenda negara.
Koalisi Permanen sebagai ‘Sabuk Pengaman’ Kekuasaan Frans menyebut koalisi permanen sebagai sabuk pengaman politik bagi Presiden Prabowo. Instrumen ini, kata dia, penting untuk memastikan dukungan parlemen tetap solid dan konsisten, sekaligus menutup ruang tekanan politik internal terhadap kebijakan strategis.
Koalisi permanen akan memutus pola bargaining setiap kali negara mengambil keputusan penting. Presiden harus bekerja dalam situasi tenang, bukan di bawah bayang-bayang ancaman politik dari dalam, tegasnya.
Ia menambahkan, kabinet ideal seharusnya menjadi perpanjangan tangan visi Presiden, bukan perwakilan kepentingan partai yang saling bersaing di balik meja.
Evaluasi Menteri Harus Berbasis Kinerja, Bukan Intrik.
Sorotan Frans juga mengarah pada isu sensitif evaluasi dan rotasi kabinet. Tanpa koalisi permanen, menurutnya, setiap perombakan kabinet rawan ditafsirkan sebagai konflik politik antarpartai, bukan keputusan manajerial Presiden.
Kalau koalisi sudah dikunci, Presiden bebas bersikap tegas. Menteri diganti karena kinerjanya, bukan karena intrik atau tekanan politik. Ini soal meritokrasi, ujarnya.
Ia menegaskan, Presiden Prabowo memiliki legitimasi penuh untuk menilai kinerja para pembantunya dan melakukan koreksi kapan pun demi kepentingan negara.
Program Rakyat dalam Risiko Jika Kabinet Tidak Solid
Frans mengingatkan, pemerintahan saat ini tengah menjalankan program-program strategis berdampak langsung pada rakyat, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, ketahanan pangan, hingga hilirisasi industri nasional. Program sebesar itu membutuhkan kabinet yang fokus dan solid. Kalau energi kabinet habis untuk konflik internal, yang dirugikan langsung adalah rakyat, katanya.
Ia juga menyinggung tantangan eksternal seperti ketidakpastian global dan potensi bencana nasional yang menuntut respons cepat dan koordinasi lintas kementerian tanpa friksi politik.
Bukan Kritik, Tapi Alarm Dini
Frans menegaskan, pernyataannya bukan kritik destruktif terhadap pemerintah, melainkan alarm dini agar kepemimpinan nasional tidak terjebak dalam jebakan politik internal.
Saya jujur khawatir, tanpa koalisi permanen, ruang rivalitas antarpartai akan terus terbuka. Kabinet bisa kehilangan daya dorong maksimalnya sebagai alat eksekusi visi Presiden Prabowo, pungkasnya.
Menurutnya, koalisi permanen bukan kepentingan partai atau relawan, melainkan instrumen stabilisasi negara agar agenda besar Indonesia berjalan konsisten, terukur, dan berpihak pada kepentingan rakyat luas. (*)


