Sebagai anak Ambon yang besar di Makassar, Zulkarnain mengaku menaruh penghormatan mendalam kepada Rusdin Tompo sebagai simbol akulturasi dan harmoni Indonesia yang plural.
Sementara itu, Pdt. Michael Matulessy mengaku emosinya campur aduk saat membaca buku tersebut.
“Beta tinggal di Batu Gajah, jadi Beta belum paham kehidupan di Air Putri. Setelah baca buku ini, baru Beta mengerti,” katanya lugas.
Ia menilai buku ini sekaligus menjadi pengingat bahwa toleransi di Ambon kini mengalami pergeseran. Nilai luhur Pela Gandong, yang dahulu mengikat persaudaraan lintas iman, perlahan terkikis.
“Sekarang kehidupan sudah terkotak-kotak. Tradisi Pela Gandong mulai memudar. Bahasa kuncinya hari ini adalah toleransi, dan itu harus dirawat kembali,” tegasnya.
Dari perspektif sastra, Yudhistira Sukatanya menyebut buku setebal hampir 200 halaman yang terbagi dalam lima bagian dan 35 subbagian ini sebagai karya naratif yang kaya warna.
“Membacanya seperti membaca esai sosiologis. Kuat, hidup, dan penuh energi,” ujar sutradara teater tersebut.
Di akhir paparannya, ia melontarkan kalimat yang disambut senyum hadirin, ditujukan kepada sastrawan senior Dahlan Abubakar yang duduk di barisan depan.
“Pak Dahlan, kita tidak perlu gelisah. Sudah ada pelanjut yang menulis dengan rancak banak,” pungkasnya.
Selain para pembicara utama, sejumlah tokoh, sastrawan, dan akademisi turut menyampaikan apresiasi dan pandangan, di antaranya Ishakim, Dahlan Abubakar, Idwar Anwar, Prof. Kembong Daeng, Prof. Nurhayati Rahman, Prof. Sukardi Weda, Amir Jaya, Andi Ruhban, serta akademisi lainnya.
Lebih dari sekadar peluncuran buku, Ana Makassar Basar di Ambon menjadi ruang perjumpaan kenangan, refleksi sejarah, dan seruan sunyi untuk kembali merawat toleransi—sebuah nilai yang lahir dari kehidupan sehari-hari manusia biasa, namun menentukan wajah kemanusiaan kita bersama.( Ardhy M Basir )

