PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Di ruang Museum Kota Makassar, Senin (22/12/2025), sebuah buku dibicarakan bukan sekadar sebagai karya tulis, melainkan sebagai serpihan ingatan, rumah kedua, dan cermin kemanusiaan. Soft launching buku Ana Makassar Basar di Ambon karya Rusdin Tompo membuka kembali romantisme seorang anak Makassar yang tumbuh dan ditempa kehidupan di Ambon—kota yang oleh UNESCO ditetapkan sebagai Kota Musik Dunia (City of Music) pada 31 Oktober 2019.
Buku yang diterbitkan Subaltern Inti Media ini merekam perjalanan hidup Rusdin Tompo di Ambon pada rentang tahun 1970–1980-an. Dengan gaya bertutur personal, buku ini menghadirkan Ambon bukan hanya sebagai latar geografis, melainkan sebagai ruang perjumpaan nilai, toleransi, dan pembentukan jati diri.
Di awal acara, Rusdin Tompo—mantan Ketua KPID Sulsel periode 2011–2014—menjelaskan alasan penyebutan soft launching. Buku ini, kata dia, secara resmi akan diluncurkan di Ambon, kota yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan hidupnya.
Nuansa emosional semakin terasa ketika acara dibuka dengan pemutaran video testimoni Ola Z. Pontoh, S.Psi., M.Psi., mantan Ketua OSIS SMPN 3 Ambon yang kini aktif di salah satu yayasan pendidikan. Ia menyampaikan apresiasi atas terbitnya buku yang merekam kisah seorang anak Makassar yang tumbuh bersama denyut kehidupan Ambon.
Soft launching yang dirangkaikan dengan Peringatan Hari Ibu ini dipandu novelis muda Diarmila, serta menghadirkan tiga pembicara lintas latar: Dr. Zulkarnain Hamson, S.Sos., M.Si. (jurnalis senior dan akademisi), Pdt. Michael Matulessy (tokoh agama), dan Yudhistira Sukatanya (sastrawan dan sutradara teater).
Dr. Zulkarnain Hamson menilai buku ini ditulis dengan kejujuran dan ketulusan yang kuat. Ia melihat Rusdin Tompo berhasil merangkai kisah secara kronologis tanpa glorifikasi diri.
“Saya menemukan penuturan yang jujur dan emosional. Ada proses transformasi manusia Makassar dalam lokus kehidupan Maluku, khususnya Ambon. Itu terasa lewat tulisan dan foto-foto yang dihadirkan,” ujarnya.
Menurutnya, buku ini melampaui sekadar narasi autobiografis. Ada kejutan, ketegangan, dan rasa penasaran yang dibangun dengan pendekatan faktual, objektif, interpretatif, dan sintetis—sebuah model penulisan humanosentris, yang menempatkan manusia sebagai aktor utama.
Ia juga menyoroti keberhasilan penulis dalam menggambarkan kehidupan masyarakat Ambon yang dahulu lekat dengan harmoni dan jauh dari sikap rasial, hingga kemudian terkoyak oleh konflik SARA akibat kepentingan politik dan kekuasaan.
“Buku ini menyentuh sisi paling manusiawi dari kehidupan sehari-hari. Ia memantik kesadaran tentang pentingnya memori, keluarga perantau, dan bagaimana harapan besar bisa tumbuh dari kesederhanaan,” tuturnya.
Sebagai anak Ambon yang besar di Makassar, Zulkarnain mengaku menaruh penghormatan mendalam kepada Rusdin Tompo sebagai simbol akulturasi dan harmoni Indonesia yang plural.
Sementara itu, Pdt. Michael Matulessy mengaku emosinya campur aduk saat membaca buku tersebut.
“Beta tinggal di Batu Gajah, jadi Beta belum paham kehidupan di Air Putri. Setelah baca buku ini, baru Beta mengerti,” katanya lugas.
Ia menilai buku ini sekaligus menjadi pengingat bahwa toleransi di Ambon kini mengalami pergeseran. Nilai luhur Pela Gandong, yang dahulu mengikat persaudaraan lintas iman, perlahan terkikis.
“Sekarang kehidupan sudah terkotak-kotak. Tradisi Pela Gandong mulai memudar. Bahasa kuncinya hari ini adalah toleransi, dan itu harus dirawat kembali,” tegasnya.
Dari perspektif sastra, Yudhistira Sukatanya menyebut buku setebal hampir 200 halaman yang terbagi dalam lima bagian dan 35 subbagian ini sebagai karya naratif yang kaya warna.
“Membacanya seperti membaca esai sosiologis. Kuat, hidup, dan penuh energi,” ujar sutradara teater tersebut.
Di akhir paparannya, ia melontarkan kalimat yang disambut senyum hadirin, ditujukan kepada sastrawan senior Dahlan Abubakar yang duduk di barisan depan.
“Pak Dahlan, kita tidak perlu gelisah. Sudah ada pelanjut yang menulis dengan rancak banak,” pungkasnya.
Selain para pembicara utama, sejumlah tokoh, sastrawan, dan akademisi turut menyampaikan apresiasi dan pandangan, di antaranya Ishakim, Dahlan Abubakar, Idwar Anwar, Prof. Kembong Daeng, Prof. Nurhayati Rahman, Prof. Sukardi Weda, Amir Jaya, Andi Ruhban, serta akademisi lainnya.
Lebih dari sekadar peluncuran buku, Ana Makassar Basar di Ambon menjadi ruang perjumpaan kenangan, refleksi sejarah, dan seruan sunyi untuk kembali merawat toleransi—sebuah nilai yang lahir dari kehidupan sehari-hari manusia biasa, namun menentukan wajah kemanusiaan kita bersama.( Ardhy M Basir )

