PEDOMANRAKYAT, ACEH – Aceh, 26 Desember 2004 — pagi itu seharusnya menjadi waktu kebahagiaan keluarga. Matahari baru saja menyinari lembut pesisir barat Aceh ketika gempa maha dahsyat mengguncang dasar Samudera Hindia. Dalam hitungan detik, laut yang tenang berubah menjadi gelombang raksasa yang menyapu seluruh yang dilewatinya — rumah, kehidupan, dan ratusan ribu harapan.
Warga Aceh mengenang hari itu bukan hanya sebagai tragedi, tetapi sebagai saat paling menguji iman mereka. Gelombang yang datang ibarat panggilan tak terduga dari Yang Maha Kuasa, menghapuskan dunia yang mereka kenal. Ribuan keluarga kehilangan anak, orang tua, saudara, dan teman. Suara tangis memenuhi udara; doa-doa terlantun di antara puing-puing dan debu.
Meninggalkan Jejak Kehidupan yang Hilang
Berapa banyak nyawa yang hilang dalam tragedi ini? Angka-angka itu sendiri terasa berat untuk dibayangkan. Diperkirakan sekitar 230.000 jiwa tewas atau hilang di seluruh kawasan terdampak tsunami di berbagai negara, dengan Aceh sebagai episentrum penderitaan. Dari jumlah itu, lebih dari 170.000 orang kehilangan nyawa di provinsi ini saja ( data Kompas )
Jumlah tersebut bukan sekedar statistik — setiap angka adalah sebuah nama, sebuah cerita hidup yang terhenti tiba-tiba. Rumah-rumah yang hancur, desa-desa yang hilang, dan ribuan makam massal yang kini jadi saksi bisu akhirnya menjadi bagian dari sejarah panjang Aceh.
Doa di Tengah Kehancuran
Di tengah kehancuran, muncul kisah-kisah kecil yang melekat di hati. Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, yang berdiri tegak meskipun sekelilingnya hancur, menjadi simbol harapan. Bagi banyak warga, keberadaannya bukan sekadar bangunan, tetapi peneguh iman di tengah musibah, tempat berkumpulnya doa yang tak pernah henti dipanjatkan.

