Para penyintas sering menceritakan bagaimana mereka berpegangan pada keyakinan untuk terus bangkit. Ada yang menemukan kembali keluarga mereka setelah berminggu-minggu mencari; ada pula yang dalam doa menemukan ketenangan meski kehilangan tak tergantikan. Doa-doa itu — pada akhirnya — menjadi jembatan antara yang hidup dan yang telah pergi.
Pascabencana: Dari Air Mata ke Harapan
Masa-masa setelah tsunami adalah periode duka, rekonstruksi, dan refleksi religius. Komunitas internasional datang membantu, tetapi yang terpenting bagi warga Aceh adalah bagaimana mereka saling membantu dan menyembuhkan luka bersama-sama. Kegiatan amal, pembangunan kembali rumah ibadah, sekolah, dan fasilitas umum menjadi bagian dari proses kembali percaya pada masa depan.
Setiap tahun, tanggal 26 Desember diperingati dengan doa bersama di Banda Aceh dan di tempat-tempat pemakaman massal. Sanak keluarga berkumpul, berlomba dalam doa — bukan hanya untuk yang telah tiada, tetapi juga untuk kekuatan hati yang tak pernah padam.
“Air laut yang datang telah mengambil begitu banyak,” ujar seorang ibu yang kehilangan kedua anaknya, “tetapi ia juga mengajarkan kami arti keteguhan iman dan kebersamaan dalam doa.” ( Ardhy M Basir )

