Kota pelajar itu menjadi saksi bagaimana ia bertumbuh—dari kerinduan yang ditahan, hingga karya-karya desain yang lahir dari ketekunan.
Hari wisuda itu, Syahrir tak datang sendiri. Tujuh orang keluarga—saudara dan ipar Hana—menempuh perjalanan panjang dari Jeneponto dan Makassar. Mereka menjadi lingkar doa, saksi bisu bahwa keberhasilan tak pernah berdiri sendiri.
Bagi Syahrir, momen itu adalah jawaban dari doa-doa yang dipanjatkan di pematang sawah. Ia mungkin tak memahami detail seni desain, tetapi ia paham arti kerja keras dan kejujuran pada proses. Melihat Hana berdiri sebagai yang terbaik, ia seakan melihat lumpur yang selama ini digelutinya berubah menjadi cahaya.
Di hari itu, Yogyakarta bukan sekadar kota studi. Ia menjadi titik temu antara lumpur sawah Jeneponto dan panggung akademik. Antara peluh seorang ayah dan prestasi seorang anak.
Dan di sanalah, kisah Hana mengajarkan satu hal sederhana: mimpi yang dirawat dengan sabar, akan selalu menemukan jalannya pulang. ( Ardhy M Basir )

