PEDOMANRAKYAT, JENEPONTO - Di antara 1.510 wisudawan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang dilantik pada 23 Desember 2025, nama Nurhamnawati Syahrir, M.Pd menggema dengan cara yang istimewa.
Bukan hanya karena ia menyelesaikan studi magister Seni Desain, tetapi juga karena Hana—sapaan akrabnya—berdiri sebagai penerima Sertifikat Terbaik 1 Prodi Desain, yang diserahkan langsung oleh Rektor UNY, Prof. Dr. Sumaryanto.
Di sudut auditorium, sepasang mata tua tak henti berkaca-kaca. Syahrir Zaini, sang ayah, berdiri mematung. Petani dari Kabupaten Jeneponto, sekitar 90 kilometer di selatan Makassar itu, tak kuasa menahan haru saat melihat anak bungsunya naik ke panggung kehormatan. Air mata jatuh perlahan, membasahi pipi yang mulai keriput—air mata dari perjalanan panjang yang tak selalu mudah.
Syahrir punya prinsip hidup sederhana namun dalam: “bernapas dalam lumpur.” Sebuah filosofi yang lahir dari kesehariannya mengolah sawah, menggenggam tanah, dan bersahabat dengan lumpur. Dari sanalah ia menghidupi keluarga, dari sanalah pula ia menanam harapan bagi ketujuh anaknya.
Hana adalah anak ketujuh dari tujuh bersaudara, buah cinta pasangan Drs. H. Syahrir Zaini, M.Pd. dan almarhumah Hj. Nurniati AR, S.Pd. Sejak kepergian sang ibu, perjalanan Hana terasa semakin sunyi. Namun kesunyian itu justru menempa kemandiriannya.
Usai menuntaskan S1 di Universitas Negeri Makassar (UNM) pada 2022, Hana melanjutkan studi magister ke Yogyakarta. Sendiri. Tinggal di sebuah kos sederhana di kawasan Jalan Colombo, ia menjalani hari-hari dengan disiplin dan tekad.
Kota pelajar itu menjadi saksi bagaimana ia bertumbuh—dari kerinduan yang ditahan, hingga karya-karya desain yang lahir dari ketekunan.
Hari wisuda itu, Syahrir tak datang sendiri. Tujuh orang keluarga—saudara dan ipar Hana—menempuh perjalanan panjang dari Jeneponto dan Makassar. Mereka menjadi lingkar doa, saksi bisu bahwa keberhasilan tak pernah berdiri sendiri.
Bagi Syahrir, momen itu adalah jawaban dari doa-doa yang dipanjatkan di pematang sawah. Ia mungkin tak memahami detail seni desain, tetapi ia paham arti kerja keras dan kejujuran pada proses. Melihat Hana berdiri sebagai yang terbaik, ia seakan melihat lumpur yang selama ini digelutinya berubah menjadi cahaya.
Di hari itu, Yogyakarta bukan sekadar kota studi. Ia menjadi titik temu antara lumpur sawah Jeneponto dan panggung akademik. Antara peluh seorang ayah dan prestasi seorang anak.
Dan di sanalah, kisah Hana mengajarkan satu hal sederhana: mimpi yang dirawat dengan sabar, akan selalu menemukan jalannya pulang. ( Ardhy M Basir )

