PEDOMANRAKYAT - MAKASSAR. Lapangan Karebosi, Senin pagi (29/12/2025), tidak sekadar menjadi hamparan hijau di jantung Kota Makassar. Di tempat inilah, ribuan wajah harap dan tekad berkumpul—wajah-wajah warga yang dipercaya menjadi garda terdepan demokrasi di lingkungannya masing-masing.
Sebanyak 6.032 Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Ketua Rukun Warga (RW) periode 2025–2030 dilantik secara serentak. Mereka datang dari lorong-lorong sempit, perumahan padat, hingga kawasan pesisir. Hari itu, demokrasi benar-benar turun ke tanah, menyentuh akar.
Pelantikan massal ini menandai babak baru demokrasi lokal di Makassar. Untuk pertama kalinya, ribuan RT dan RW tersebut merupakan hasil pemilihan langsung oleh warga, bukan penunjukan. Sebuah proses yang bukan hanya administratif, tetapi juga simbol kepercayaan.
Dari total yang dilantik, 5.027 adalah Ketua RT dan 1.005 Ketua RW. Mereka bukan sekadar pengurus wilayah, melainkan simpul sosial—orang pertama yang dicari warga saat lampu padam, sampah menumpuk, konflik muncul, atau bantuan dibutuhkan.
Janji kampanye Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, tentang menghadirkan demokrasi hingga ke tingkat paling dasar masyarakat, kini menemukan bentuk nyatanya.
“Ini bukan seremoni,” tegas Munafri di hadapan ribuan RT dan RW. “Ini awal dari tanggung jawab besar.”
Ia menyebutkan, ada sejumlah indikator kinerja utama yang harus segera dijalankan. Yang pertama dan paling dekat dengan keseharian warga: persoalan sampah.
Menurut Munafri, RT dan RW memegang peran penting dalam meluruskan pemahaman masyarakat terkait kebijakan subsidi pembayaran sampah.
Tidak semua gratis, dan tidak semua berbayar—subsidi diberikan kepada kelompok tertentu berdasarkan standar penghasilan.
“Nah, ini yang harus turun ke tengah masyarakat supaya tidak ada ambigu,” ujarnya.
Lebih dari itu, sistem pengelolaan sampah harus berjalan secara terintegrasi, melibatkan kesadaran warga menjaga lingkungannya sendiri. RT dan RW diminta memastikan alur pengelolaan sampah di wilayahnya berjalan tertib dan adil.
Indikator berikutnya adalah ketertiban dan keamanan lingkungan. Munafri menegaskan pentingnya data kependudukan yang akurat di setiap RT.
“Tidak boleh ada orang yang tinggal tapi tidak terdata,” katanya, sembari menyinggung wacana pemberlakuan kembali tamu wajib lapor 1×24 jam.
Sistem keamanan, lanjutnya, tidak bisa berjalan sendiri. Harus kolektif, melibatkan masyarakat, RT/RW, hingga unsur TNI dan Polri sebagai satu kesatuan yang menjaga ketertiban lingkungan.
Tak kalah penting, indikator keempat adalah pemberdayaan masyarakat, khususnya melalui penguatan ekonomi warga berbasis UMKM.
“Tugas RT dan RW adalah memastikan proses pemberdayaan itu hidup di tengah masyarakat,” kata Munafri. Pemerintah, ujarnya, siap memberi dukungan.
Namun, ia juga mengingatkan, di tengah derasnya informasi hari ini, RT dan RW harus menjadi corong resmi pemerintah. Informasi yang keliru, jika dibiarkan, bisa menimbulkan kebingungan dan jarak sosial.
“RT/RW ini corong sah pemerintah,” tegasnya.
Kinerja mereka tidak akan dibiarkan berjalan tanpa arah. Evaluasi akan dilakukan setiap bulan, bukan semata untuk menentukan besaran insentif, tetapi untuk melihat sejauh mana kedekatan sosial—bonding—RT dan RW dengan warganya.
“Yang dinilai bukan hanya angka, tapi hubungan sosial,” jelas Munafri.
Ia juga menyinggung persoalan penggunaan ruang publik—parkir dan aktivitas berjualan di titik-titik yang membahayakan keselamatan.
“Tidak dilarang mencari nafkah, tapi jangan di tempat yang dilarang,” katanya.
Pemerintah Kota Makassar akan menyiapkan pengaturan zona yang lebih tegas dan detail demi keselamatan bersama.
Sementara itu, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kota Makassar, Andi Anshar, menegaskan bahwa RT dan RW merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur pemerintahan di tingkat kelurahan dan kecamatan.
“Setelah dilantik, mereka resmi dan langsung bertugas,” ujarnya.
Peran strategis RT dan RW, kata Andi Anshar, sangat menentukan dalam proses perencanaan pembangunan, terutama melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) bersama LPM, lurah, dan camat.
Evaluasi kinerja RT dan RW tetap mengacu pada regulasi, yakni Perwali Nomor 82 Tahun 2022 dan Perwali Nomor 3 Tahun 2024. Penilaian dilakukan oleh lurah, camat, dan Ketua LPM.
Yang menarik, Pemerintah Kota Makassar akan menerapkan skema insentif berbasis kinerja. Besarannya tidak lagi seragam, melainkan disesuaikan dengan capaian kerja tiap RT dan RW.
Insentif dibagi dalam tiga rentang:
Rp300 ribu–Rp600 ribu,
Rp600 ribu–Rp900 ribu,
dan Rp900 ribu–Rp1,2 juta per bulan.
Penilaian mengacu pada sembilan indikator utama, mulai dari pengelolaan Lorong Wisata, Bank Sampah, retribusi sampah, kepatuhan PBB, hingga penerapan program Sombere dan Smart City.
Termasuk pula administrasi, deteksi dini kerawanan sosial, pendataan penduduk non permanen, dan mitigasi bencana.
Hari itu di Karebosi, ribuan RT dan RW pulang membawa lebih dari sekadar SK pelantikan. Mereka membawa amanah—bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih, tetapi soal mengurus, mendengar, dan melayani.
Dari lapangan kota, demokrasi Makassar kini berjalan menuju lorong-lorongnya. (Ardhy M Basir)

