Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Dalam idiom Islam, suatu nilai atau sistem nilai yang zalim dapat disebut sebagai nilai jahiliyah. Meskipun istilah jahiliyah sendiri, semula dimaksudkan sebagai secara khusus keadaan Jazirah Arabia sebelum Islam dengan ciri utama politeisme.
Namun, dalam penggunaannya yang lebih generik, istilah tersebut dimaksudkan untuk menunjuk kepada paham, pandangan dan praktik yang bertentangan dengan rasa keadilan. Maka dalam kerangka pandangan tersebut, patut dipertanyakan, apakah ada pengaruh nilai-nilai jahiliyah dalam masyarakat Islam, terutama, tentang wanita?
Kaum wanita Islam tidak perlu khawatir dengan harkat dan martabat mereka dalam agamanya. Jika penyimpangan terjadi, maka selalu dapat diluruskan kembali dengan merujuk kepada sumber-sumber suci, dan justeru inilah kelebihan Islam atas agama-agama yang lain.
Dengan merujuk kepada semangat dasar dan kearifan asasi atau hikmah ajaran Kitab Suci dan Sunnah Nabi, kita dapat mengetahui bahwa banyak memang praktik dalam sebagian dunia Islam yang merendahkan kaum wanita, itu tidak berasal dari agama, tapi dari adat dan kultur setempat. Kadang-kadang malah merupakan kelanjutan dari kebutuhan mempertahankan pola tatanan sosial-politik tertentu yang bersifat status quo karena menguntungkan pihak penguasa.
Fatimah Menissi dengan keahlian sangat tinggi banyak melacak kepalsuan hadis-hadis yang cenderung merendahkan wanita, termasuk yang diriwayatkan oleh Buchori.
Sebagai seorang penganut mazhab Maliki, Fatimah menerapkan metode kritik hadis yang diajarkan dan diterapkan oleh Imam Malik, dan menghasilkan kajian kritis yang tangguh.
Di atas semuanya itu, Alquran masih akan tetap ada di tangan umat Islam dan Kitab Suci itulah yang akan menjadi sumber ajaran kebenaran selama-lamanya, serta yang akan menjadi hakim dari berbagai pertikaian pandangan tentang agama, termasuk tentang wanita.