Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Ibrahim AS dikenal sebagai bapak monoteisme, hadir menyerukan neraca keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua manusia di hadapan Allah SWT sehebat apa pun seseorang di muka bumi ini.
Seseorang yang merasa dirinya hebat di dunia ini, kedudukannya sama dengan seorang hamba sahaya di hadapan Allah SWT. Kekuatan dan kelebihan seseorang diperoleh dari kemurahan hati Allah SWT, sedangkan kelemahan seorang hamba sahaya merupakan hikmah kebijaksanaan dari Allah SWT yang dapat memberi kekuatan kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya.
Ibrahim AS hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, antara kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidak-bolehannya dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia.
Melalui Ibrahim AS, secara alamiah dan tegas larangan tersebut dilakukan. Bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan, tetapi karena Allah SWT Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Allah SWT memerintahkan agar Ibrahim mengorbankan puteranya Ismail sebagai wujud ketaatan atas perintah Allah SWT yang kemudian Ismail diganti oleh Allah SWT dengan seekor domba.
Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan pengalaman kerohanian yang dilaluinya dan itu secara agamis terbukti bukan saja dalam penemuannya tentang keesaan Allah SWT sebagaimana yang termaktub dalam QS 6:75, tapi juga keyakinanannya tentang hari kebangkitan.
Ibrahim AS adalah satu-satunya Nabi dan manusia yang memohon kepada Allah SWT agar diperlihatkan cara Allah SWT menghidupkan yang mati.